Jurnalis Tirto.id, Fiqie Haris Prabowo, masih ingat dengan jelas saat diperlakukan seperti pelaku kriminal oleh aparat sekitar empat bulan lalu. Lehernya diapit tangan aparat dan digelandang dari jalan sekitar Semanggi, Jakarta ke dalam Gedung DPR pada 30 September 2019 malam itu.
Ia juga mendapat intimidasi dan ancaman kekerasan fisik saat melintasi kelompok Brimob yang sedang istirahat di gedung DPR. Padahal, kata Haris, ia saat itu sedang melakukan kerja jurnalistik yakni meliput aksi massa yang menolak RUU KPK, RKUHP dan sejumlah RUU yang dinilai bermasalah di depan Gedung DPR.
"Saya hampir dimasukkan mobil tahanan, saya menolak tidak mau. Karena saya tahu ketika masuk mobil tahanan, saya sudah tidak ada pertolongan apa-apa lagi di dalam," kenang Haris saat ditemui di kantor LBH Pers, Jakarta, Kamis (7/2/2020).
"Teman-teman wartawan lain membantu mengatakan ke polisi kalau saya wartawan yang ngepos di DPR. Perdebatan lagi masalah selongsong, akhirnya mereka tidak ada alasan untuk menahan saya lagi. Akhirnya saya hanya difoto muka dan KTP, kemudian dilepas," lanjutnya.
Selongsong yang dimaksud Haris adalah selongsong peluru gas air mata yang ditemukan polisi saat menggeledah tasnya. Penggeledahan tersebut dilakukan setelah Haris meliput cekcok antara personel TNI Angkatan Laut dan polisi di RS R.E. Martadinata tidak jauh dari Gedung DPR. Cekcok tersebut dipicu penembakan gas air mata yang dilakukan polisi ke arah rumah sakit.
Personel TNI AL yang melihat empat wartawan di lokasi kemudian meminta aparat untuk 'mengamankan' mereka, hingga kemudian Haris diinterogasi polisi berbaju preman. Menurut, Haris, selongsong peluru gas air mata tersebut diambil atas permintaan editornya karena sempat beredar gas air mata yang digunakan polisi sudah kadaluwarsa.
"Pas liputan itu lengkap. Pakai celana panjang, jaket hitam, id pers jelas, tas dan masker yang lumayan besar. Karena itu sudah dapat arahan dari kantor, mohon pakai segala macam," tambah Haris.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada 11 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang aksi massa pada September 2019 lalu yang terjadi di Jakarta dan Sulawesi. Jenis kekerasan yang dialami jurnalis beragam mulai dari intimidasi, perampasan alat kerja, hingga kekerasan fisik.
Tujuh kasus di Jakarta dan Makassar didampingi AJI dan LBH Pers kemudian dilaporkan ke kepolisian. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan kasus yang sudah di tangan polisi, termasuk kasus wartawan Tirto.id yang dilaporkan sejak Oktober 2019.
LBH Pers : Kasus Mangkrak karena Polisi Tak Paham UU Pers
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, mengatakan salah satu penyebab mandeknya kasus kekerasan di kepolisian karena aparat tidak memahami Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Utamanya, kata dia, pasal 18 UU Pers yang mengandung ancaman pidana bagi orang yang menghalangi kerja jurnalistik dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
"Dari pengalaman kami, setingkat Polda di Jakarta itu mereka masih kebingungan, siapa yang akan menangani pidana UU Pers. Artinya ini tingkat Jakarta, kita tidak tahu di tingkat daerah, mungkin bisa di bawah itu," tutur Ade di Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Di samping itu, kata Ade, kesadaran dari para jurnalis dan perusahaan media untuk melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami ke polisi, juga rendah. Akibatnya, kasus tersebut tidak memiliki peluang untuk diselesaikan melalui jalur hukum.
Ade juga mengusulkan perluasan perwakilan Dewan Pers di seluruh wilayah Indonesia melalui kelompok kerja (Pokja) Hukum Dewan Pers. Kata dia, pembentukan Pokja Hukum Dewan Pers ini untuk memaksimalkan penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis di daerah-daerah.
Anggota Dewan Pers Agung Darmajaya mengatakan lembaganya akan mengumpulkan perusahaan media pada pertengahan tahun ini untuk sosialisasi cara meliput yang aman di daerah atau peristiwa yang berpotensi terjadinya kekerasan. Langkah serupa juga akan dilakukan di daerah-daerah lain. Ia berharap sosialisasi ini dapat mengurangi kekerasan terhadap jurnalis di berbagai daerah.
Di samping itu, dalam sosialisasi tersebut, Dewan Pers juga akan mengingatkan bahwa tanggung jawab utama penanganan kasus kekerasan jurnalis berada di perusahaan media masing-masing.
"Mohon mudah-mudahan teman-teman jurnalis tahu menempatkan mana zona aman dia. Jadi jangan kemudian, ada istilah satu berita satu nyawa. Sudah tahu dalam posisi tidak aman, dia masuk untuk mendapat gambar eksklusif," jelas Agung di kantor Dewan Pers, Rabu (5/2/2020).
Kendati mendorong pencegahan kekerasan terhadap jurnalis, ia tetap menegaskan kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis tidak dapat dibenarkan dan perlu didorong penuntasan kasusnya. Itu supaya menimbulkan efek jera kepada orang lain dan menjadi pembelajaran bagi publik agar tidak melakukan kekerasan.
Dewan Pers juga aktif berkoordinasi dengan aparat kepolisian di tempat kejadian kekerasan. Namun, kata Agung, Dewan Pers tidak dapat mengintervensi penanganan kasus yang sedang ditangani aparat.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Argo Yuwono menanggapi singkat terkait kasus-kasus kekerasan jurnalis yang sedang ditangani Polri. Ia mengatakan akan mengecek kasus-kasus tersebut dan sejauh mana penanganannya.
"Ya nanti kita cek dimana saja laporannya dan sejauh apa penanganannya," tulis Argo melalui pesan online, Selasa (4/2/2020).
53 Kekerasan Sepanjang 2019
Aliansi Jurnalis Independen mencatat terdapat 53 kekerasan terhadap jurnalis di berbagai daerah sepanjang 2019. Kasus kekerasan masih didominasi oleh kekerasan fisik sebanyak 20 kasus. Setelah itu diikuti oleh perusakan alat atau data hasil liputan (14 kasus), ancaman kekerasan atau teror (6 kasus), pemidanaan atau kriminalisasi (5 kasus), pelarangan liputan (4 kasus).
Masih dominannya kasus dengan jenis kekerasan fisik ini sama dengan tahun sebelumnya. Tahun lalu jenis kekerasan fisik tercatat ada 12 kasus, tahun 2017 sebanyak 30 kasus.
Dari sisi pelaku, pelaku kekerasan terbanyak adalah polisi, dengan 30 kasus. Pelaku kekerasan terbanyak kedua adalah warga (7 kasus), organisasi massa atau organisasi kemasyarakatan (6 kasus), orang tak dikenal (5 kasus).
Sementara Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) pada 4 Februari 2020 lalu menyampaikan ada 49 pekerja media yang meninggal dalam menjalankan tugas. Amerika Latin merupakan wilayah dengan jumlah kematian tertinggi (18 kasus), diikuti oleh Asia-Pasifik (12 kasus) dan Afrika (9 kasus), Timur Tengah dan dunia Arab (8 kasus) dan Eropa (2 kasus). [sm/em]