Seekor harimau Sumatra ditemukan mati di area konsesi PT Arara Abadi, Desa Minas Barat, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Senin (18/5). Hewan malang itu ditemukan dalam kondisi kaki depan kanan terjerat dan sudah dipenuhi lalat serta belatung. Harimau tersebut diperkirakan sudah terjerat selama satu pekan.
Mirisnya kematian satwa dilindungi itu bukan yang pertama terjadi di kawasan hutan tanaman industri (HTI) tersebut. Sebelumnya pada November 2019, dan Februari 2020, gajah Sumatra juga ditemukan mati membusuk di area konsesi yang sama.
Menanggapi kematian satwa liar dilindungi di kawasan HTI, Ketua Protection of Forest and Fauna (ProFauna) Indonesia, Rosek Nursahid menyebut pihak perusahaan harus bertanggung jawab dalam pencegahan pemasangan jerat di dalam areal konsesinya.
"Perusahaan harus punya satuan tugas khusus yang memastikan tidak ada pemasangan jerat di wilayah konsesi mereka. Itu sudah konsekuensi tanggung jawab perusahaan karena mereka mendapatkan hak pengelolaan hutan tersebut," kata Rosek kepada VOA, Rabu (20/5).
Edukasi Warga
Agar kejadian serupa tak terulang lagi, Rosek mengatakan pihak perusahaan atau pemegang konsesi hutan juga harus memberdayakan dan mengedukasi masyarakat untuk tidak memasang jerat.
"Kalau semua dibebankan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan terlalu berat. Toh, operasi jerat yang dilakukan KLHK tidak setiap hari. Sementara pihak perusahaan tiap hari ada pekerja di situ yang itu juga punya kewajiban melakukan patroli jerat. Ini saya kira yang kurang adalah pelibatan dari pihak swasta," ujar Rosek.
Lebih lanjut, Rosek menuturkan satwa memiliki daya jelajah dan kawasan teritorial yang dipertahankan agar menghindari serangan dari individu hewan lain. Lalu, hutan alami yang terfragmentasi menjadi hutan industri menyebabkan daya jelajah satwa akan terganggu.
"Mau tidak mau mereka juga akan masuk ke dalam kawasan hutan yang sudah bukan menjadi hutan alami," tuturnya.
ProFauna Indonesia mengatakan kasus perburuan satwa yang dilindungi dengan menggunakan jerat masih kerap terjadi di Pulau Sumatra seperti wilayah Aceh, Riau, Jambi, hingga Lampung.
"Itu parameternya mudah, kita lihat dari temuan tim KLHK yang melakukan operasi jerat. Dalam sekali operasi bisa ratusan jerat yang diamankan berarti masih terjadi (perburuan). Indikasi bukan sekadar yang terekspos di media, yang mati tidak ketahuan saya kira banyak. Saya kira banyak yang telah dievakuasi oleh pemburu," ucapnya.
Sanksi untuk Pemegang Konsesi
Sementara itu, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Suharyono mengatakan kematian satwa liar dilindungi yang berulang kali terjadi di dalam kawasan hutan tanaman produksi menjadi evaluasi penting. Terutama dalam memberikan sanksi kepada pemegang konsesi karena lalai melindungi satwa liar dilindungi dari perburuan.
"Kami usulkan ke pimpinan di pusat agar dilakukan langkah korektif terhadap pemegang konsesi ini khususnya terkait rasio pengamanan mereka dengan areal yang dimiliki. Luas areal yang mereka (perusahaan) miliki tentunya wajib memiliki pengamanan yang seimbang juga," ujarnya kepada VOA.
Lalu, BBKSDA Riau menuturkan sejauh ini telah berupaya mengedukasi masyarakat serta pekerja konsesi agar tak melakukan tindakan ilegal seperti memburu satwa dilindungi di dalam dan luar kawasan hutan tanaman industri. Namun, upaya tersebut tak sepenuhnya diterima masyarakat.
"Mungkin tidak bisa diharapkan 100 persen masyarakat itu menerima kegiatan preventif kami. Tapi kami tidak pernah berhenti untuk melakukan hal ini agar meningkatkan pengetahuan ke masyarakat,” kata Suharyono.
Selain kegiatan preventif, Suharyono mengatakan, pihaknya mengintensifkan patroli untuk mengurangi ruang gerak para pemburu ilegal di kawasan hutan.
BBKSDA Riau berharap seluruh lapisan masyarakat terutama pemegang konsesi, izin kebun, dan para korporasi membantu pihaknya untuk menutup ruang gerak bagi para pemburu.
"Jangan biarkan mereka masuk ke kawasan konsensi dengan alasan apa pun. Karena apa? Inilah akibatnya pemasangan jerat-jerat sangat merugikan kelestarian dari satwa yang mestinya kita lindungi bersama," pungkas Suharyono. [aa/ft]