Amnesty International Indonesia mendesak Presiden Jokowi agar membebaskan tahanan politik. Desakan disampaikan melalui surat yang dikirim pada Kamis (13/8). Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, para tahanan politik semestinya tidak dipenjara. Mereka, menurut Usman, menyampaikan pendapat atau ekspresi secara damai. Apalagi, kata dia, tidak ada unsur kekerasan atau hasutan kebencian yang disampaikan para tahanan politik.
"Jadi, mereka dituduh melakukan pemberontakan wilayah dengan pasal-pasal makar, tetapi tidak ada satupun bukti yang bisa menunjukkan adanya kekerasan. Entah itu mobilisasi pasukan bersenjata atau tindakan lain," jelas Usman dalam diskusi daring "Refleksi 75 Tahun Kemerdekaan: Akankah Tahanan Nurani Mendapat Amnesti?" pada Kamis (13/8).
Usman menambahkan setidaknya ada 46 tahanan politik dari Papua dan Maluku. Rinciannya, 10 orang dipenjara di Ambon (Maluku), 23 orang di Fak-Fak (Papua Barat), 11 orang di Sorong (Papua Barat) dan dua orang dipenjara di Wamena, termasuk Jakub Skrzypski, yang merupakan warga Polandia.
Menurutnya, semestinya tidak sulit bagi Presiden Joko Widodo untuk membebaskan para tahanan politik. Sebab, pembebasan tahanan politik telah dicontohkan presiden-presiden sebelumnya, mulai dari Soekarno hingga awal pemerintahan Presiden Jokowi. Pengampunan antara lain diberikan kepada orang-orang yang terlibat pemberontakan Daud Bereueh di Aceh pada 1959 dan pemberian grasi kepada lima tahanan politik dalam kasus pembobolan gudang senjata Kodim 1710/Wamena pada 2003.
“Namun, kriminalisasi terhadap mereka yang menggunakan hak untuk berpendapat akan tetap sulit untuk dihentikan selama pasal makar di KUHP masih diterapkan di luar ketentuan yang diizinkan oleh hukum hak asasi manusia internasional. Maka dari itu, pemerintah bersama DPR RI harus mengamandemen atau mencabut ketentuan tersebut, agar tidak dapat lagi digunakan untuk mempidanakan kebebasan berekspresi,” kata Usman.
Sementara itu, puteri dari Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan ayahnya selalu mengedepankan kemanusiaan dalam mengambil kebijakan, termasuk dalam persoalan pembebasan para tahanan politik. Ia menunjuk pembebasan para tahanan politik Timor-Timur pada 1999.
"Konteks Papua memang bisa dibingkai dengan kacamata security. Tapi kita tahu selama ini, pengalaman kita dengan Timor Leste, Papua, Aceh, pendekatan security tidak pernah menyelesaikan persoalan. Justru memperpanjang dan memperparah," jelas Alissa Wahid.
Alissa, yang juga Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, mendorong Presiden Jokowi untuk berdialog dengan kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda tentang Indonesia. Ia juga meminta presiden memberi amnesti sepanjang para tahanan politik tersebut tidak melakukan kejahatan kemanusiaan seperti terorisme atau kekerasan seksual.
Menanggapi itu, Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Utama Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Yunaedi, mengatakan amnesti merupakan hak presiden, bukan merupakan hak narapidana. Hal ini berbeda dengan remisi atau pembebasan bersyarat yang menjadi hak narapidana. Karena itu, dibutuhkan dialog antara pihak terkait dengan presiden untuk pemberian amnesti.
Selain itu, kata Yunaedi, kasus tindak kejahatan yang berhubungan dengan kejahatan keamanan negara, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang warga binaan pemasyarakatan, sehingga tidak bisa mendapat remisi atau pembebasan seperti narapidana lain pada masa pandemi.
"Ada semacam proses dialog yang diperlukan dalam rangka presiden memberikan amnesti sesuai hak presiden. Tetapi kalau remisi, pembebasan bersyarat, integrasi itu ada hak narapidana yang diatur dalam Undang-undang dan regulasi turunannya," jelas Yunaedi.
Yunaedi menambahkan, Kemenkumham terbuka untuk masukan masyarakat terkait amnesti.
Tahun lalu, Presiden Jokowi memberi amnesti kepada terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik Baiq Nuril Maknun, yang juga menjadi korban kekerasan seksual. [sm/ka]