Korea Utara, Kamis (25/3) dicurigai menembakkan dua rudal balistik ke laut, dalam provokasi substantif pertama terhadap pemerintahan baru AS Joe Biden.
Korea Utara memiliki senjata nuklir dengan sejarah panjang menggunakan sejumlah uji senjata untuk meningkatkan ketegangan, dalam proses yang dikalibrasi dengan cermat untuk mencapai tujuannya.
Tahun pertama Donald Trump menjabat ditandai dengan serangkaian peluncuran rudal yang meningkat, disertai dengan perang kata-kata antara Presiden AS dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.
Pyongyang menunggu waktunya sejak pemerintahan baru menjabat, bahkan tidak secara resmi mengakui kepresidenan Joe Biden hingga pekan lalu.
Akan tetapi kepala staf gabungan Seoul mengatakan Korea Utara menembakkan dua rudal jarak pendek dari provinsi Hamgyong Selatan ke Laut Jepang, yang di Korea dikenal sebagai Laut Timur.
Rudal itu ditembakkan sejauh 450 kilometer dan mencapai ketinggian maksimum 60 kilometer, kata ketua Gabungan Kepala Staff angkatan bersenjata (JCS) Korea Selatan mengatakan setelah pertemuan darurat Dewan Keamanan Nasional Korea Selatan menyatakan "keprihatinan mendalam" atas peluncuran tersebut.
Korea Utara dilarang mengembangkan rudal balistik di bawah resolusi Dewan Keamanan PBB, dan dikenai berbagai sanksi internasional atas program senjatanya.
Kepada para wartawan, Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga dengan tegas mengatakan, "Korea Utara telah meluncurkan dua rudal balistik."
Yoshihide menambahkan, "Ini mengancam perdamaian dan keamanan negara dan kawasan kita. Itu juga merupakan pelanggaran resolusi PBB."
Tokyo mengatakan rudal balistik itu jatuh di luar perairan zona ekonomi eksklusif Jepang.
Menteri urusan Asia Inggris Nigel Adams menggemakan komentar Suga, memperingatkan Korea Utara untuk menahan diri dengan tidak melakukan provokasi lebih lanjut dan "turut terlibat dalam negosiasi yang bermakna dengan AS."
"Kami sangat prihatin bahwa Korea Utara telah melakukan dua uji coba rudal balistik jarak pendek," katanya dalam sebuah pernyataan. Dia mengatakan tindakan itu sebagai "pelanggaran yang jelas" terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB. [mg/lt]