Profesor Enri Damanhuri, pakar pengelolaan sampah dan limbah dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan kenaikan volume sampah yang harus ditangani belum diimbangi dengan peningkatan kemampuan pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengelola sampah.
Enri menyampaikan hal itu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di kompleks DPR/MPR Senayan, Jakarta, Rabu (16/6).
Berdasarkan data secara nasional pada 2016, lanjut Enri, jumlah sampah yang diangkut dari kawasan perkotaan dan pedesaan sebanyak 36,39 persen dari total volume sampah yang dihasilkan.
Dari persentase tersebut, jumlah sampah di perkotaan yang berhasil diangkut lebih baik dibanding di pedesaan, yakni sebanyak 60,64 persen.
Sisanya secara nasional, sebanyak 63,61 persen sampah yang tidak terangkut, oleh masyarakat dibakar (51,41 persen), dibuang ke kali, parit, atau laut (6,78 persen), serta dibuang sembarangan (2,7 persen).
Enri menegaskan pemerintah daerah merupakan faktor kunci dalam pengelolaan sampah secara nasional.
"Jadi kenaikan jumlah sampah yang harus ditangani belum seiring dengan kemampuan pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengelola sampah tersebut. Jadi tambah lama menurut saya. Kalau tidak ditangani secara baik, tambah lama akan tambah banyak sampah yang lari ke lingkungan tanpa bisa kita kontrol," kata Enri.
Berkaitan dengan sungai sebagai tempat pembuangan sampah oleh masyarakat, Enri mencontohkan Sungai Citarum di Jawa Barat yang dianggap sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Maritim pada 2017, terdapat 3.236 industri tekstil di sepanjang aliran sungai tersebut dan 90 persennya tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah.
Setiap hari sebanyak 280 ton limbah kimia dan medis dibuang langsung ke Sungai Citarum. Sebanyak 35-56 ton limbah ternak dibuang ke sungai itu saban hari.
Menurut Enri, masyarakat kebingungan membuang sampah karena tidak ada fasilitas pembungan di lingkungannya. Selain itu, petugas pengangkut sampah jarang datang. Kalaupun ada bank sampah, hanya menerima sampah bernilai ekonomi atau bisa dijual.
Pada kesempatan yang sama, Pengamat Lingkungan Sri Bebasari mengatakan Indonesia sudah menghadapi keadaan darurat dalam pengelolaan sampah. Dia mengibaratkan darurat sampah di Indonesia sudah seperti ‘kanker stadium lima’ dan telah masuk ICU (ruang perawatan intensif).
Namun Sri menyayangkan para pemangku kepentingan tidak serius menangani persoalan pengelolaan sampah ini.
"Hampir semua TPA (tempat pembuangan akhir) di Indonesia, menurut saya sudah bom waktu. Karena memang perencanaan kota di Indonesia sebagian besar pada zaman dulunya seperti bikin rumah, nggak bikin WC (tempat pembuangan sampah). Kayak DKI aja, ternyata WC-nya di tetangga, di Bekasi, 45 kilometer (jarak) TPAnya," ujar Sri.
Sri menyebutkan ketidakberesan pengelolaan sampah di darat itu yang akhirnya membuat sampah mencemari laut, dan bahkan mengakibatkan banyak ikan mati.
Sri mengatakan Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun dia menyayangkan beleid tersebut tidak dijalankan dengan semestinya.
Sri mencontohkan dalam Pasal 44, UU Pengelolaan Sampah, disebutkan TPA pendamping yang bersifat terbuka harus sudah ditutup paling lambat lima tahun setelah undang-undang itu dikeluarkan. Namun, sampai sekarang, menurut Sri, banyak TPA pendamping yang belum ditutup dan tidak ada penanggung jawab yang dikenai sanksi.
Dalam Pasal 24, lanjut Sri, pemerintah pusat dan daerah wajib mendanai pengelolaan sampah. Namun, kenyataannya, ujar Sri, rata-rata daerah hanya mengalokasikan 0,00 sekian persen dana APBD untuk pengelolaan sampah.
Sri menambahkan aturan lain yang penting dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 adalah Pasal 15 yang mewajibkan perusahaan bertanggung jawab atas kemasan produknya yang tidak bisa terurai di alam.
Menanggapi pernyataan Sri tersebut, Wakil Ketua Komisi IV Anggia Erma Rini sepakat penanganan sampah di Indonesia harus dilakukan secara luar biasa karena keadaannya sudah darurat. Dia mencontohkan begitu banyak sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga dan berlangsung terus menerus tiap hari.
"Masyarakat harus diedukasi secara maksimal, tidak hanya basa basi saja. Tapi memastikan masyarakat itu paham betul memperlakukan sampah. Karena sampah setiap hari di rumah tangga, nggak main-main dan itu terus menerus," tutur Anggia.
Anggia menegaskan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat, daerah, pengusaha, dan organisasi non-pemerintah bersama-sama dengan peran masing-masing membantu menangani persoalan sampah di Indonesia. [fw/ft]