Tim Lapor COVID-19, Diah Dwi Putri, mengatakan angka laporan terkait pelanggaran pembelajaran tatap muka paling tinggi terjadi pada Juli 2021, yakni 29 aduan. Padahal saat itu pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di sejumlah daerah diberlakukan.
"Di mana pada minggu keempat Juli 2021 laporannya paling banyak karena bertepatan dengan tahun ajaran baru, serta PPKM Level 3 dan 4," katanya dalam konferensi pers Lapor COVID-19 secara daring, Minggu (1/8).
Meskipun ada pembatasan, ujar Diah, tetapi kenyataannya ada banyak sekolah yang sudah menerapkan pembelajaran tatap muka.
Ia menambahkan, pelanggaran yang dilakukan di sejumlah wilayah terkait pembelajaran tatap muka antara Januari hingga Juni hanya 66 aduan. Seluruh aduan dari masyarakat itu didapatkan tim Lapor COVID-19 dari kanal pelaporan melalui aplikasi Whatsapp dan Telegram Bot yang khusus menerima keluhan warga selama pandemi.
Diah melanjutkan, dari seluruh aduan yang diterima tim Lapor COVID-19 pada Juli 2021, sedikitnya 17 persen masyarakat melaporkan bahwa saat praktik pembelajaran tatap muka sekolah telah menjadi klaster penularan COVID-19. Aduan itu juga didominasi oleh pelanggaran protokol kesehatan saat pembelajaran tatap muka.
"Lima puluh dua persen pelanggaran protokol kesehatan dalam proses pembelajaran. Lalu, sisanya melaporkan mengenai keluhan terhadap kekhawatiran untuk anak-anak saat di sekolah yang telah menerapkan pembelajaran tatap muka," ujarnya.
Kemudian, berdasarkan laporan dari beberapa wilayah terkait pelanggaran saat pembelajaran tatap muka sebagian besarnya merupakan wilayah yang sedang menerapkan PPKM Level 3 dan 4, seperti Bogor, Sumedang, Bandung, Depok, Banyumas, Jakarta, Bekasi, Banjarmasin, Makassar, Cimahi, Bali, Banten, dan Tangerang.
"Seharusnya mereka daring tapi mereka nekat melakukan pembelajaran tatap muka," ucap Diah.
Oleh karena itu, kata Diah, pihaknya mendesak agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk menunda pembelajaran tatap muka hingga kasus COVID-19 terkendali.
"Yang dimaksud kasus terkendali adalah positivity rate di bawah 5 persen dalam beberapa minggu terakhir sesuai rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pembelajarannya harus dilakukan secara daring," katanya.
Kemudian, Kemendikbud Ristek juga harus mendorong inovasi, penyesuaian, dan perbaikan yang mampu memberikan pedoman pembelajaran efektif pada saat penyelenggaraan sekolah daring. Lalu, pemerintah daerah diminta untuk melakukan pemantauan dan pengawasan, termasuk memberikan sanksi tegas kepada sekolah dan aparatur yang melanggar aturan.
"Pemerintah pusat dan daerah memberikan informasi yang akurat kepada orang tua murif mengenai laju penularan COVID-19 dan risikonya kepada anak secara transparan. Sehingga orang tua murid dapat mengambil keputusan membolehkan atau tidak anaknya masuk sekolah," tandas Diah.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, Fahriza Marta Tanjung, mengatakan laporan itu membuktikan bahwa masih banyak sekolah yang menerapkan pembelajaran tatap muka di masa PPKM. Namun, pihak sekolah mengelabui Dinas Pendidikan setempat dengan cara tidak menggunakan seragam.
"Itu banyak sekali terjadi di lapangan. Kalau kita melihat di jalanan banyak anak-anak yang berangkat sekolah tapi tidak menggunakan seragam. Ada potensi yang mengkhawatirkan walapun pihak sekolah tidak membuka secara resmi tapi siswa tetap hadir," ujarnya.
Kemudian, kata Fahriza, adanya laporan pelanggaran pembelajaran tatap muka di masa PPKM membuat Kemendikbud Ristek seperti tak berdaya menghadapi persoalan tersebut. Padahal, Kemendikbud Ristek telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri tentang Panduan Pembelajaran Tatap Muka. Namun, SKB 4 Menteri itu tak dijalankan oleh sekolah maupun pemerintah kabupaten/kota.
"Di SKB 4 Menteri itu ada kewajiban untuk mengisi daftar periksa terkait syarat-syarat untuk membuka sekolah. Ini masih sedikit sekolah yang mengisi daftar periksa tapi mereka tetap buka (sekolah)," ucapnya.
Sementara, Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, mengatakan pelanggaran terhadap SKB 4 Menteri tentang Panduan Pembelajaran Tatap Muka sudah lama terjadi. Hal tersebut diperparah dengan adanya pembiaran dari pemerintah kabupaten/kota maupun Satgas COVID-19 setempat.
"Tidak ada sanksi, SKB itu dicueki termasuki di sekolah itu sendiri," katanya.
Lanjut Satriwan, pihaknya juga telah menerima laporan sedikitnya di 16 provinsi bahwa masih banyak sekolah yang melakukan pelanggaran saat pembelajaran tatap muka. Misalnya, beberapa sekolah di daerah yang nekat memulai uji coba tatap muka meski belum memenuhi syarat. Namun, tidak ada sanksi untuk sekolah yang nekat menerapkan pembelajaran tatap muka.
"Mereka sudah memulai uji coba tatap muka padahal syaratnya belum terpenuhi. Misalnya, guru-gurunya belum divaksinasi tapi mereka sudah memulai uji coba tatap muka. Lagi-lagi tidak ada sanksi," pungkasnya. [aa/ah]