Sebagai Ketua Kepala Staf Gabungan ke-20, Jenderal Angkatan Darat Mark Milley dikenal keras dan sangat dihormati. Ia dilaporkan dipilih sendiri dulu oleh Presiden Donald Trump karena sosoknya yang “tangguh” dan gaya bicaranya yang blak-blakan.
Berdasarkan Konstitusi Amerika, Presiden – bukan ketua kepala staf gabungan – adalah panglima tertinggi militer Amerika. Dan sejak awal tahun 2019, Milley – yang sempat menempuh pendidikan di Universitas Princeton – memberi isyarat kuat bahwa tanggung jawab utamanya adalah melindungi dan membela Konstitusi dan bukan pada presiden yang kontroversial.
Pejabat yang dekat dengan Milley mengatakan kepada VOA bahwa fokus jenderal itu pada sekutu dan pesaing Amerika adalah mencapai “stabilitas yang strategis” sambil meredam ketegangan.
Namun, upaya Milley untuk tetap apolitis kadang-kadang ditafsirkan oleh para pengecamnya sebagai mempolitisi posisinya. Tokoh yang mengatakan ingin menjauhkan militer dari politik ini telah berulangkali menjadi pusat perdebatan dan kontroversi politik.
Pada Juni 2020 Milley minta maaf karena berjalan bersama Trump melintasi Lafayette Square, tempat di mana para demonstran memprotes kematian warga Amerika keturunan Afrika George Floyd ketika berada dalam tahanan polisi di Minneapolis pada 25 Mei.
Polisi anti-huru-hara dan pasukan Garda Nasional mengusir paksa demonstran dari taman di depan Gedung Putih itu sebelum Trump melintasi alun-alun itu bersama beberapa anggota kabinetnya dan Jenderal Milley. Presiden Trump ketika itu berdiri di depan sebuah gereja bersejarah untuk berpose dengan Alkitab di tangannya.
“Saya seharusnya tidak berada di sana,” tegas Milley dalam pidato di hadapan mahasiswa National Defense University.
Tak lama setelah insiden itu, seorang pejabat senior pertahanan mengatakan kepada wartawan bahwa baik Milley maupun Menteri Pertahanan ketika itu, Mark Esper, tidak bermaksud ikut dalam pemotretan itu. Mereka mengira hanya berjalan ke luar untuk melihat pasukan yang bertugas di depan taman itu.
Pada hari-hari terakhir masa kepresidenan Trump, Milley juga menyampaikan pesan kepada militer. Ia mengecam serangan pada 6 Januari terhadap Gedung Kongres oleh para pendukung Trump yang ingin membatalkan proses pengesahan kemenangan Biden dalam pilpres.
“Kerusuhan dengan kekerasan di Washington DC pada 6 Januari 2021 merupakan serangan langsung terhadap Kongres Amerika, Gedung Kongres dan proses konstitusi kita,” tegas Milley dan kepala staf lainnya dalam sebuah memo.
Ditambahkannya, “Kita menyaksikan tindakan di dalam Gedung Kongres yang tidak sesuai dengan aturan hukum. Hak kebebasan berpendapat dan berkumpul tidak memberi siapa pun hak untuk menggunakan kekerasan, menghasut dan memberontak.”
Secara pribadi, Milley dilaporkan menyalahkan Trump atas pernyataannya yang memicu kerusuhan itu, menyamakan dengan keadaan di sekitar pemilu era Nazi di Jerman. “Ini adalah saat Reichstag,” kata Milley kepada seseorang, mengacu pada serangan di parlemen Jerman tahun 1933; demikian petikan buku berjudul “Peril” yang ditulis dua wartawan Washington Post – Carol D. Leonnig dan Phillip Rucker.
Sejumlah pakar sekali lagi mengklaim Milley telah merusak hubungan antara kepemimpinan sipil dan militer.
“Tindakan sang Jenderal telah menimbulkan preseden sipil-militer yang penting, dan kepercayaan itu perlu diperbaiki,” ujar purnawirawan Angkatan Darat, Kolonel Jeff McCausland, mantan anggota Dewan Keamanan Nasional, yang pekan ini menulis essai di NBC News. “Tetapi hal ini juga mengungkapkan dampak berkelanjutan dari seorang presiden yang putus asa untuk dapat terus menjabat,” tambahnya.
Kecaman itu terutama dipusatkan pada dua pembicaraan telepon yang dilakukan Milley dengan Jenderal China, Li Zuocheng. Menurut buku itu, dalam pembicaraan telepon pertama pada 30 Oktober 2020, Milley dilaporkan telah memberitahu Li bahwa ia akan menghubunginya jika akan terjadi serangan nuklir oleh Amerika dalam waktu dekat.
Milley menelepon untuk kedua kalinya pasca serangan 6 Januari untuk berupaya meyakinkan kembali China bahwa Amerika tetap stabil, di mana dilaporkan Milley memberitahu Li bahwa “demokrasi kadang-kadang ceroboh.”
Selain dua telepon dengan mitranya di China itu, Milley juga dilaporkan melangsungkan pertemuan rahasia dengan para pemimpin militer senior Amerika di Pentagon, setelah Trump menolak menerima hasil pemilihan presiden. Masih menurut buku “Peril,” dalam pertemuan itu Milley mengingatkan para pejabat tentang prosedur peluncuran senjata nuklir dan berusaha memastikan bahwa petugas kontrol peluncuran nuklir akan memberitahunya jika perintah itu dikeluarkan.
Senator fraksi Republik Marco Rubio dan purnawirawan Letkol Alexander Vindman telah menyerukan pengunduran diri Milley setelah terungkapnya peristiwa-peristiwa tersebut. Rubio mengatakan sang jenderal berusaha “secara aktif melemahkan” Trump.
Milley Jumat lalu (18/9) mengatakan pembicaraannya dengan Li melalui telepon adalah “benar-benar merupakan bagian dari tugas dan tanggungjawabnya.”
Mengenai pertemuan tentang prosedur senjata nuklir, juru bicara Milley, Kolonel Dave Butler mengatakan hal itu “untuk mengingatkan para pejabat militer di Pentagon tentang prosedur yang kokoh dan sudah lama ada sehubungan dengan laporan-laporan media tentang hal itu.”
Tak lama setelah peristiwa-peristiwa itu terungkap dalam buku “Peril,” Presiden Joe Biden menyampaikan dukungannya pada Milley, dan mengatakan bahwa ia memiliki “kepercayaan yang besar” pada jenderal itu. [em/ka]