Suhardi, tokoh masyarakat di Desa Karya Jaya, Kutai Kartanegara telah bertahun-tahun berjuang bersama warga, melawan operasi tambang ilegal di kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto. Tambang-tambang ilegal itu telah merusak Waduk Samboja, yang menjadi satu-satunya sumber air bagi warga untuk kehidupan sehari-hari.
“Untuk konsumsi, untuk pertanian, peternakan, juga yang terlihat jelas itu hilangnya mata pencaharian warga kami dari hasil pencarian ikan, yang biasanya masyarakat kami bekerjanya mencari ikan di daerah waduk itu,” ujar Suhardi.
Hanya ikan gabus yang tersisa di Waduk Samboja, jenis ikan lain seperti nila yang dulu melimpah kini telah punah. Keadaan kian memprihatinkan karena air bersih 458 kepala keluarga atau kurang lebih 1.600 jiwa, sepenuhnya berasal dari waduk itu.
“Oktober 2019, kami langsung datang ke Istana, ke DPR, ke Mabes Polri, ke TNI, bersurat terkait itu. Turun tim dari Kementerian ESDM, tetapi setelah beberapa bulan tambang ilegal masih tetap aktif,” tambah Suhardi menumpahkan kekecewaan.
Mereka bingung harus berkeluh kesah kepada siapa. Pemerintah tidak bertindak, padahal jelas lokasi tambang ilegal itu ada di kawasan Tahura.
Suhardi berbicara dalam diskusi terkait tambang ilegal di Kalimantan Timur, Senin (28/2). Diskusi ini sekaligus menandai berdirinya Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Kalimantan Timur.
Legal, Ilegal Sama Bermasalah
Dari sudut pandang dampak negatif, tambang tidak memandang legal atau ilegal. Haris Retno Susmiyati dari KIKA Kalimantan Timur mengakui tambang ilegal jelas bermasalah, tetapi yang legal pun membawa konsekuensi buruk karena alokasi ruangnya yang sangat luas.
“Jadi, yang resmi saja sudah 44 persen dari seluruh kawasan darat di Kalimantan Timur. Jadi dia mendominasi. Nah, itu belum ditambah lagi dengan yang tambang ilegal, tentu masalahnya jadi bertambah,” kata Retno.
Justru, karena izin konsesi yang diberikan pemerintah kepada tambang legal sangat luas, bisa jadi masalah yang ditimbulkan bisa lebih besar. Retno memberi contoh ada perusahaan tambang di Kutai Timur yang diberi hak tambang batu bara seluas lebih 90 ribu hektare. Bahkan, ada perusahaan lain yang rencananya akan menerima konsesi dua kali lipatnya, meski saat ini masih mengalami persoalan hukum.
Tambang ilegal saat ini menerima perhatian lebih dari KIKA, kata Retno, karena sejumlah faktor.
“Untuk urusan tambang ilegal ini, suara-suara masyarakat itu sudah sangat kuat menyuarakan bagaimana persoalannya. Sudah tidak bisa ditolerir lagi,” tambah Retno.
Alasan kedua adalah soal payung hukum. Dari sisi mana pun, dasar hukum untuk menindak tambang ilegal sangat kuat. Untuk menindaknya, tidak diperlukan pembuktian dokumen lingkungan atau pembuktian terkait kerusakan.
“Kadang-kadang, pembuktiannya itu membutuhkan waktu dan proses panjang. Kalau tambang ilegal, yang penting dia enggak punya izin, langsung bisa ditindak,” tegasnya.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Abdil Mughis Mudhoffir, juga menilai dalam soal dampak tambang, soal batas legal dan ilegal bukan persoalan utama.
“Kalau ternyata yang didefinisikan sebagai legal berdasarkan hukum, sementara hukum bisa dibuat-buat semau kelompok atau pihak yang berkuasa. Sejauh apa kita bisa kategorikan itu sebagai sebagai legal,” tukasnya.
Karena itulah, persoalan legal ini seharusnya juga tidak hanya ditentukan oleh negara. Aktor non-negara, khususnya masyarakat, juga memiliki suara terkait legalitas operasional sebuah tambang.
“Jadi, agak problematik kalau kita menarik garis secara tegas, legal dan ilegal, karena yang legal pun banyak yang bermasalah. Batas antara legal dan ilegal itu semakin kabur,” tambahnya.
Tambang Legal Berdampak Kolosal
Di mata Pradarma Rupang dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, skala kerusakan tambang legal justru sangat kolosal. Tambang ilegal dan legal sama-sama merusak, tetapi skala kerusakan tambang legal jauh lebih mengerikan.
“Dia menghancurkan sungai, merusak tatanan corak produksi, pola konsumsi masyarakat, kebudayaan, sama. Satunya, skalanya mungkin secara kuantitas dalam skala RT. Kalau yang legal, karena izinnya meliputi puluhan ribu hektar skala kerusakannya juga meluas,” ujarnya.
Pemerintah memang telah menerapkan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai sarana untuk mencegah kerusakan lingkungan akibat tambang. Namun, menurut Pradarma, saat ini Amdal justru dijadikan alat legal untuk merusak lingkungan.
“Amdal itu adalah instrumen untuk diizinkan merusak. Jadi, kalau dalam kitab para penambang, dia katakan bahwa ini memprediksi kerusakan,” tambahnya.
Prediksi tentang kerusakan itu lalu disampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang lebih lunak. Namun, intinya Amdal tetap menjadi sarana perusahaan tambang untuk menyapa warga bahwa mereka akan merusak lingkungan di sekitarnya.
Dampaknya sudah sangat jelas. Dalam kasus ketersediaan air bersih, seperti yang diceritakan Suhardi di atas, sarana kehidupan yang tadinya rutin datang ke rumah warga, menjadi hilang.
“Tidak sebatas lagi hanya tercemar, tetapi hilang,” kata Pradarma menekankan.
Panggilan bagi Sivitas Akademika
Akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), barangkali saat ini menjadi pihak yang tersisa bagi rakyat, untuk bergerak bersama menyelesaikan persoalan akibat tambang ilegal maupun legal di Kaltim.
Kesadaran terkait itu, disampaikan Koordinator KIKA Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah.
“Tugas kami sebagai kaum intelektual tidak hanya mereproduksi pengetahuan, tetapi pada saat yang bersamaan, ada tangung jawab yang mesti kita emban untuk berjuang bersama-sama demi bagaimana persoalan-persoalan publik itu bisa kita selesaikan,” ujarnya.
Herdiansyah menyebut persoalan di Kaltim tidak sekedar soal tambang yang ilegal. Industri ekstraktif telah menciptakan persoalan alih fungsi lahan, pencemaran lingkungan, hingga reklamasi yang tidak dilakukan, dan berakibat hilangnya nyawa manusia.
“Kalau kita merujuk data kawan-kawan, dari tahun 2011-2022 ini sudah ada 40 nyawa yang hilang di lubang tambang, yang tidak direklamasi oleh pemegang konsesi,” tambahnya.
Lubang tambang tercipta karena penambang mengambil batu bara, dan kemudian pergi begitu saja setelah selesai beroperasi. Lubang di lahan itu bisa memiliki kedalaman hingga ratusan meter, dan sebagian beracun. Dari 40 kasus kematian, mayoritas terjadi pada anak-anak. Dan ironisnya hanya dari puluhan kasus itu, hanya satu yang diusut polisi. Itupun hanya menyentuh subkontraktor, dan bukan pemegang izin usaha pertambangan. Padahal UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara jelas menyebutkan bahwa tanggung jawab persoalan ini ada di pemegang konsesi.
“Sayangnya, satu perkara ini hanya divonis 3 bulan kurungan dengan denda seribu rupiah. Bagaimana mungkin nyawa manusia yang hilang di bekas galian lubang tambang, yang mayoritas adalah anak-anak itu ditukar dengan seribu rupiah,” tandas Herdiansyah.
Peran akademisi kampus di Kaltim juga semakin strategis karena industri tambang melahirkan dampak tak terselesaikan. Bangunan rumah hingga sekolah rusak, polusi akibat debu membuat warga terkena infeksi saluran pernafasan, dan berbagai persoalan lain. Sementara itu, aparat hukum tidak berbuat cukup untuk mengatasinya. [ns/ah]