Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan pada periode tahun 2015-2021 ada 67 kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan. Kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan yakni kekerasan seksual 87,91 persen, psikis dan diskriminasi 8,8 persen. Lalu, kekerasan fisik 1,1 persen.
Perguruan tinggi menempati urutan pertama untuk kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan 35 kasus pada tahun 2015 hingga 2021.
"Perguruan tinggi menempati urutan pertama untuk kekerasan seksual," kata Aminah dalam sebuah diskusi daring, Senin (11/4).
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, pelaku kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lembaga pendidikan bervariasi. Data dari Komnas Perempuan dari tahun 2015-2021 ada 67 pelaku – yaitu guru 28 orang, dosen 15 orang, peserta didik 10 orang, kepala sekolah 9 orang, pelatih 2 orang, dan lain-lain 3 orang.
"Kerentanan yang disalahgunakan oleh pendidik," ujar Aminah.
Aminah menjelaskan, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan mengalami hambatan di dalam klaim keadilan maupun pemulihan bagi para korban. Hal itu disebabkan adanya relasi kuasa yang kuat dari para pelaku. Kemudian, di sisi lain masyarakat bahkan lebih memercayai seseorang yang memiliki otoritas keilmuan maupun keagamaan dibandingkan korban.
Belum lagi lambatnya respons dari institusi pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual lantaran demi menjaga nama baik lembaganya semakin membuat korban tak berdaya. Hambatan-hambatan itu kerap membuat korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tak dipercaya ketika bersuara tentang apa yang dialaminya.
"Itu justru menimbulkan hambatan-hambatan lebih jauh terhadap pemenuhan hak-hak korban," jelas Aminah.
Lanjut Aminah, selain melalui perubahan kebijakan di tingkat undang-undang. Komnas Perempuan memberikan saran dan rekomendasi agar kementerian, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan membangun ruang aman dari kekerasan termasuk kekerasan seksual.
"Itu komitmen kami untuk pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi," pungkasnya.
Relasi Kuasa & Minimnya Pemulihan Jadi Kendala Penanganan
Dewan pengarah Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berspektif Gender Indonesia (APPHGI), Kunthi Tridewiyanti, mengatakan banyak kendala terkait lemahnya penanganan kasus kekerasan maupun pelecehan seksual di perguruan tinggi. Kendala itu mulai dari relasi kuasa pelaku hingga minimnya akses terhadap pemulihan dan penanganan psikologis korban.
"Akibat mereka tidak bersuara jadi minim pengaduan. Ditambah dengan tidak ada akses yang jelas tentang pemulihan, apalagi tentang keadilan," ucapnya.
Masih kata Kunthi, hambatan lain adalah pelaku kerap memanfaatkan kerentanan, ketergantungan, dan kepercayaan korban kepadanya. Bukan hanya itu, beberapa perguruan tinggi bahkan tak mempunyai mekanisme penanganan terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual.
"Banyak sekali korban-korban tidak tertangani dan pelakunya terbebaskan," pungkasnya.
Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Penerbitan Permendikbud No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi diharapkan mampu merespons situasi darurat kekerasan seksual yang terjadi di universitas. [aa/em]