Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Kamala Harris diperkirakan akan melanjutkan kebijakan luar negeri yang diambil oleh Joe Biden, termasuk dalam isu-isu penting seperti Ukraina, China, dan Iran. Namun, jika Harris menggantikan Biden sebagai pemimpin Partai Demokrat dan memenangkan pemilihan presiden AS pada November, ia diperkirakan akan mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Israel terkait konflik di Gaza.
Setelah Biden memutuskan untuk mundur dari pencalonan presiden pada Minggu (21/7) dan memberikan dukungannya kepada Harris, perempuan keturunan Afrika dan kulit hitam pertama di negara itu, muncul sebagai kandidat utama. Jika Harris maju menggantikan Biden, ia akan membawa pengalaman praktis yang diperolehnya dari pekerjaannya, hubungan pribadi yang telah terjalin dengan para pemimpin dunia, serta wawasan tentang urusan global yang didapatkan selama masa jabatannya di Senat dan sebagai wakil presiden di bawah Biden.
Namun, jika berhadapan dengan calon dari Partai Republik, Donald Trump, Harris akan menghadapi tantangan besar, terutama terkait masalah di perbatasan AS-Meksiko yang telah menjadi kendala besar bagi Biden dan isu utama dalam kampanyenya. Di awal masa jabatannya, Harris diberi tanggung jawab untuk menangani akar penyebab tingginya migrasi ilegal, dan Partai Republik berusaha menjadikannya sebagai sasaran untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Menurut para analis, dalam berbagai prioritas global, kepemimpinan Harris akan menampilkan gaya pemerintahan Biden jilid dua.
“Dia mungkin lebih enerjik, tetapi satu hal yang tidak bisa Anda harapkan adalah perubahan signifikan dalam substansi kebijakan luar negeri Biden," kata Aaron David Miller, mantan negosiator Timur Tengah untuk pemerintahan Demokrat dan Republik.
Harris mengisyaratkan bahwa ia akan tetap setia pada Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO (North Atlantic Treaty Organization), mengikuti jejak Biden, dan akan terus mendukung Ukraina dalam melawan Rusia. Kebijakan ini bertentangan dengan janji mantan Presiden Trump yang ingin merombak hubungan AS dengan aliansi tersebut serta menimbulkan keraguan mengenai kelanjutan pasokan senjata dari Washington ke Kyiv.
Tetap Sama dalam Kasus China?
Sebagai mantan pengacara berpengalaman dan eks Jaksa Agung California, Harris menghadapi tantangan berat di paruh pertama masa jabatan Biden. Ia berhadapan dengan masalah imigrasi yang kompleks di tengah lonjakan rekor penyeberangan imigran di perbatasan AS-Meksiko.
Hal tersebut terjadi setelah kampanye presiden 2020 yang gagal dan dianggap kurang memuaskan.
Jika dia menjadi calon presiden, Partai Demokrat berharap Harris dapat lebih efektif dalam menyampaikan tujuan kebijakan luar negerinya.
Pada paruh kedua masa jabatan Biden, Harris memperkuat pengaruhnya dalam berbagai isu mulai dari China, Rusia hingga Gaza, dan menjadikannya sosok yang lebih dikenal dan berpengaruh di kalangan pemimpin dunia.
Pada Konferensi Keamanan Munich tahun ini, ia memberikan pidato yang mengecam Rusia karena invasinya ke Ukraina dan berjanji bahwa AS akan memenuhi kewajibannya di bawah Pasal 5 NATO untuk saling melindungi.
Mengenai China, Harris telah lama mendukung pandangan bipartisan di Washington yang menekankan perlunya AS merespons pengaruh China, terutama di Asia. Para analis percaya bahwa ia akan melanjutkan pendekatan tegas Biden terhadap Beijing jika diperlukan, sambil tetap mencari peluang untuk bekerja sama.
Harris melakukan beberapa perjalanan untuk memperkuat hubungan di kawasan dengan pertumbuhan ekonomi pesat, termasuk kunjungan ke Jakarta pada September untuk menggantikan Biden dalam pertemuan puncak ASEAN. Selama kunjungan tersebut, Harris menuduh China mencoba menekan negara-negara tetangga yang lebih kecil agar mengakui klaim teritorialnya di Laut China Selatan yang kontroversial.
Biden juga mengutus Harris untuk memperkuat aliansi dengan Jepang dan Korea Selatan, sekutu penting yang memiliki kekhawatiran terkait komitmen Trump terhadap keamanan mereka.
“Dia menunjukkan kepada kawasan bahwa dia antusias dalam mendukung fokus Biden pada Indo-Pasifik,” kata Murray Hiebert, peneliti senior Program Asia Tenggara di Pusat Studi Strategis dan Internasional Washington.
Meskipun Harris belum dapat menyamai "kemampuan diplomatik" yang telah dibangun Biden selama beberapa dekade, "dia melakukannya dengan cukup baik," tambahnya.
Namun, seperti Biden, Harris juga kadang-kadang membuat kesalahan verbal. Saat kunjungannya ke Zona Demiliterisasi antara Korea Selatan dan Utara pada September 2022 untuk menegaskan dukungan Washington terhadap Seoul, ia secara keliru menyebut "aliansi AS dengan Republik Korea Utara," yang kemudian dikoreksi oleh asistennya.
Jika Harris menjadi kandidat utama Partai Demokrat dan berhasil mengalahkan Trump dalam jajak pendapat untuk melenggang ke Gedung Putih, konflik Israel-Palestina akan menjadi prioritas utama dalam agendanya, terutama jika perang di Gaza masih berkecamuk.
Meskipun sering mendukung kebijakan Biden mengenai hak Israel untuk membela diri setelah serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober, sebagai wakil presiden, Harris bersikap lebih tegas daripada presiden dalam mengkritik pendekatan militer Israel.
Pada Maret, ia dengan tegas mengecam Israel, menyebut bahwa negara tersebut tidak berbuat cukup untuk meringankan "bencana kemanusiaan" selama serangan darat di wilayah kantong Palestina. Ia juga mengatakan tidak menutup kemungkinan adanya "konsekuensi" bagi Israel jika mereka melakukan invasi besar-besaran ke Rafah, area padat pengungsi di Gaza selatan.
Menurut para analis, pernyataan semacam itu memunculkan spekulasi bahwa jika Harris menjadi presiden, ia mungkin akan menggunakan bahasa yang lebih tegas terhadap Israel dibandingkan Biden.
Meskipun Biden yang berusia 81 tahun memiliki pengalaman panjang dalam berurusan dengan pemimpin Israel dan bahkan menyebut dirinya seorang "Zionis," Harris yang berusia 59 tahun tidak memiliki hubungan pribadi yang mendalam dengan negara tersebut.
Dia menjalin hubungan dekat dengan kelompok progresif di Partai Demokrat, yang beberapa anggotanya mendesak Biden untuk menerapkan syarat dalam pengiriman senjata AS ke Israel setelah tingginya jumlah korban sipil Palestina dalam konflik di Gaza.
Namun para analis memperkirakan tidak akan ada perubahan besar dalam kebijakan AS terhadap Israel, sekutu terdekat Washington di Timur Tengah.
Halie Soifer, penasihat keamanan nasional Harris pada 2017 hingga 2018, mengatakan bahwa dukungan Harris terhadap Israel sama kuatnya dengan dukungan Biden. "Tidak ada perbedaan signifikan di antara keduanya," ujarnya.
Ancaman Nuklir Iran
Harris juga diperkirakan akan bersikap tegas terhadap Iran, musuh utama Israel di kawasan, yang kemajuan program nuklirnya baru-baru ini menuai kecaman dari AS.
Jonathan Panikoff, mantan wakil pejabat intelijen nasional AS untuk Timur Tengah, menyatakan bahwa meningkatnya ancaman terkait “persenjataan” dari program nuklir Iran bisa menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Harris, terutama jika Teheran memilih untuk menguji kepemimpinan baru AS tersebut.
Setelah serangkaian upaya yang gagal, Biden tidak menunjukkan minat untuk melanjutkan negosiasi perjanjian nuklir internasional 2015 dengan Teheran, yang ditinggalkan Presiden Trump.
Sebagai presiden, Harris kemungkinan besar tidak akan membuat gebrakan besar kecuali ada tanda-tanda serius bahwa Iran siap memberikan konsesi.
Meski begitu, Panikoff, yang kini bekerja di lembaga kajian Atlantic Council di Washington, mengatakan: "Ada banyak alasan untuk percaya bahwa presiden berikutnya harus berurusan dengan Iran. Ini pasti akan menjadi salah satu masalah terbesar." [ah/ft]
Forum