Perang yang dilancarkan Israel setelah serangan yang dipimpin Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, tidak hanya menghancurkan rakyat Gaza tetapi juga berdampak buruk pada negara tetangga Mesir. Perang tersebut membuat pejabat pemerintah Mesir sibuk dan membebani ekonominya, meski membawa sejumlah manfaat.
Konflik telah memicu aktivitas diplomatik selama berjam-jam dan daftar panjang kunjungan utusan dari beberapa negara. Upaya mediasi tidak berhasil, tetapi konflik tersebut telah membuat para diplomat sibuk, dengan pertemuan Liga Arab yang berpusat di Kairo dan konsultasi yang melibatkan di antaranya Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat.
Said Sadek, profesor studi perdamaian dan hak asasi manusia di Universitas Mesir-Jepang di Alexandria, mengatakan kepada VOA bahwa Mesir telah menjadi salah satu pemain kunci dalam upaya mediasi antara Israel dan Hamas. Ia mengatakan upayanya terkadang berhasil dan terkadang tidak berhasil.
"Secara politis (konflik) menyoroti peran Mesir sebagai kekuatan moderat di Timur Tengah," katanya. "Dalam semua negosiasi yang terjadi kemudian antara Hamas dan Israel, mereka selalu membutuhkan mediator, dan itu adalah Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat. Dan mereka semua memainkan peran dalam hal itu dan terkadang mereka berhasil dan terkadang mereka gagal."
Kepala intelijen Mesir, Abbas Kamel, menghabiskan waktu berjam-jam untuk memediasi antara Israel dan Hamas, seperti yang dilakukan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken dan menteri luar negeri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim al Thani.
Secara ekonomi, konflik Gaza telah menyebabkan kerusakan serius pada ekonomi Mesir, tetapi juga membawa manfaat, seperti yang ditunjukkan oleh analis Timur Tengah yang berkantor di Washington, Paul Sullivan.
"Mesir sedang terhimpit di antara banyak batu dan banyak tempat yang sulit, dengan beberapa hal positif," katanya. "Hal positif tersebut termasuk aliran uang dari GCC (Dewan Kerja Sama Teluk), IMF (Dana Moneter Internasional), Bank Dunia, dan lainnya, untuk memastikan bahwa Mesir menjadi sedikit lebih stabil secara ekonomi."
Baik Sadek maupun Sullivan setuju bahwa efek samping dari konflik Gaza mengakibatkan perekonomian Mesir mengalami kemunduran. Hal tersebut termasuk penurunan besar dalam pendapatan dari Terusan Suez, salah satu sumber pendapatan utama pemerintah Mesir.
"(Houthi) di Yaman memblokir navigasi yang aman di Laut Merah dan itu memengaruhi Terusan Suez yang dulunya menghasilkan sekitar $10 miliar bagi Mesir," kata Sadek. "Sekarang kita hanya mendapatkan $3 miliar, jadi ada kerugian besar sebesar 70 persen."
Mesir tidak hanya menderita kerugian akibat berkurangnya pendapatan dari Terusan Suez karena kapal-kapal berlayar di sekitar Tanduk Afrika untuk mencapai tujuan mereka. Sullivan mengatakan Mesir juga terancam kekurangan gas alam "jika Israel menghentikan ekspor gasnya ke Mesir."
Hal itu akan membuat pemerintah Mesir terpaksa mengimpor gas alam dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Rakyat Mesir sudah terpuruk. Pemerintah telah menaikkan harga minyak bumi dan gas alam dua kali tahun ini, masing-masing sebanyak 15 persen. Tingkat inflasi Mesir secara keseluruhan telah mencapai 25 persen, dengan para analis menyalahkan lonjakan tersebut sebagian besar pada perang di Gaza.
Pendapatan pariwisata juga turun karena konflik Gaza. Beberapa negara Barat telah memperingatkan warganya untuk tidak bepergian ke Mesir atau negara-negara Timur Tengah lainnya. [es/ft]