Presiden Joko Widodo hari Rabu (27/7) melantik Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) menggantikan Luhut Binsar Pandjaitan.
Tak lama setelah pelantikan itu, sejumlah LSM dan aktivis HAM – antara lain Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) dan The Indonesian Human Rights Monitor (IMPARSIAL) menyampaikan kecaman dan penolakan terhadap pelantikan tersebut.
Kepala Divisi Pemantauan Anti Impunitas Kontras Feri Kusuma kepada VOA mengatakan langkah Presiden Joko Widodo memilih Wiranto sebagai Menkopolhukam merupakan langkah yang tidak tepat. Menurutnya, mantan jenderal itu adalah sosok yang masih harus dimintai pertanggungjawabannya atas sejumlah praktek pelanggaran HAM berat, sebagaimana yang telah disampaikan dalam sejumlah laporan Komnas HAM.
Pelanggaran HAM itu antara lain dalam peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, Tragedi Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998 serta peristiwa Biak berdarah.
Selain itu, lanjut Feri, nama mantan Panglima ABRI pada era Orde Baru itu juga disebut-sebut di dalam sebuah laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di bawah mandat Serious Crimes Unit yang menyatakan bahwa Wiranto gagal untuk mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan serta gagalnya dalam menghukum pelaku.
Pelantikan Wiranto sebagai Menkopolhukam dinilai semakin memupuskan harapan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu untuk mendapatkan keadilan.
KONTRAS mendesak Presiden Joko Widodo untuk membatalkan Wiranto sebagai Menkopolhukam.
"Dugaan awal bahwa Wiranto terlibat atau bertanggungjwab dalam sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada rezim orde baru, nah karena dasar itu kita menolak Wiranto ditunjuk sebagai Menkopolhukam, karena pertama persoalan hak asasi manusia belum diselesaikan oleh pemerintah. Yang kedua, Jokowi berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM ini secara berkeadilan dan menghapus impunitas, nah janjinya dengan melihat keputusan Jokowi hari ini ternyata Jokowi mengingkari janjinya sendiri karena yang dipilihnya orang yang jelas terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia," ungkap Feri Kusuma.
Hal yang sama juga diungkapkan Direktur The Indonesian Human Rights Monitor (IMPARSIAL) Al Araf. Menurutnya terpilihnya Wiranto sebagai Menkopolhuman tentunya membawa kekhawatiran bahwa proses penegakan hukum dan HAM akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Padahal para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM sangat berharap kepada Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Komitmen Presiden Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tambahnya kini dipertanyakan.
"Karena realitasnya akan sulit menyelesaikan kasus pelanggaran HAM bila kemudian posisi Menkopolhukam diduga memiliki persoalan terkait dengan (pelanggaran HAM) masa lalu," ujar Al Araf.
Wiranto yang kini menjabat sebagai Menkopolhukam tidak terlalu terpengaruh dengan banyaknya kritik yang ditujukan kepadanya terkait persoalan hak asasi manusia. Namun hingga laporan ini disampaikan VOA belum berhasil mendapatkan keterangan Wiranto. [fw/ii]