Untuk memperkuat dugaan telah terjadi pembantaian massal setelah Gerakan 30 September 1965, Koordinator Yayasan IPT (Pengadilan Rakyat Internasional) 1965 Nursyahbani Katjasungkana hari Senin (26/7) menyerahkan salinan putusan majelis hakim kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Nursyahbani berharap penyerahan salinan putusan IPT itu akan memperkuat argumen dalam mengatasi perbedaan dengan Kejaksaan Agung.
Rabu pekan lalu, majelis hakim IPT 1965 yang bersidang pada awal November 2015 di Den Haag, Belanda, memutuskan Indonesia bersalah dan bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia setelah tewasnya enam jenderal dan seorang letnan di Jakarta pada 30 September 1965.
"Waktu 2013, setahun setelah laporan Komnas HAM diserahkan ke Kejaksaan Agung, tidak ada kemajuan karena ditolak dengan alasan teknis. Kita tahu itu sebetulnya politis saja. Karena itu, salah satu tujuan IPT adalah memperkuat laporan Komnas HAM untuk mendapatkan alternatif pendapat dari para ahli hukum internasional dengan reputasi internasional," ujarnya.
Majelis hakim yang dipimpin Zakria Yacoob, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, merekomendasikan agar pemerintah Indonesia meminta maaf, memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya, serta mengadili para pelaku.
Meski sudah menerima laporan dari Komnas HAM dan 40 peneliti lainnya, Nursyahbani mengakui sangat kecil peluang Kejaksaan Agung menaikkan status berkas penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan, sebab Kejaksaan Agung sudah menyatakan tragedi 1965 sebagai kriminal biasa bukan kejahatan kemanusiaan.
Menanggapi putusan IPT 1965, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan sudah menyatakan putusan itu tidak perlu ditanggapi karena bukan berasal dari lembaga resmi.
Sebelumnya, Luhut juga pernah menegaskan bahwa pemerintah tidak akan meminta maaf kepada korban peristiwa 1965 itu
Walaupun demikian, pemerintah, kata Luhut, tetap berniat menyelesaikan semua pelanggaran HAM yang terjadi termasuk peristiwa 1965 dengan cara yang lain. Luhut mengatakan pemerintah sedang mencari penyelesaian menyeluruh supaya tidak menjadi beban sejarah bagi generasi mendatang.
"Tidak pernah terpikir oleh kita untuk meminta maaf mungkin wording-nya penyesalan yang mendalam (atas) peristiwa-peristiwa yang lalu yang menjadi sejarah kelam di bangsa ini dan kita berharap ini tidak terulang lagi. Kita masih cari yang pas," ujarnya.
Walau belum ada kemajuan dalam penyelesaian kasus 1965, Nursyahbani masih menaruh harapan kepada pemerintahan Joko Widodo. Dia menilai Presiden Joko Widodo memiliki kemauan politik untuk hal ini.
"Kita berharap Jokowi memenuhi janjinya tertuang dalam Nawacita . Di sana tertulis dalam rangka menyelesaikan masalah HAM masa lalu agar tidak menjadi beban bangsa ini, maka akan dibentuk komite kepresidenan untuk pengungkapan kebenaran dan penyelesaian HAM masa lalu," ujarnya.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Feri Kusuma mengatakan, apabila kasus pelanggaran HAM berat tidak diselesaikan atau tidak diungkap siapa pelakunya, peristiwa serupa berpeluang terjadi kembali pada masa depan.