Amerika Serikat (AS), Jumat (8/12), memveto resolusi Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menerapkan gencatan senjata dalam menyelesaikan konflik antara Israel dan kelompok militan Hamas.
Dalam sidang DK PBB, 13 negara anggota dewan lainnya mendukung usulan resolusi itu, sedangkan Inggris abstain. Namun, usulan gencatan itu terjegal veto AS, yang merupakan sekutu dekat Israel. AS beralasan bukan waktu yang tepat untuk menerapkan gencatan senjata.
“Mungkin yang paling tidak realistis, resolusi ini masih menyerukan gencatan senjata tanpa syarat,” kata Wakil Duta Besar AS Robert Wood.
“Saya menjelaskan dalam pernyataan saya pagi ini mengapa (gencatan senjata) ini tidak saja tidak realistis, tetapi juga berbahaya: Gencatan senjata hanya memberi kesempatan Hamas untuk berkonsolidasi dan mengulang apa yang mereka lakukan pada 7 Oktober.”
Dia mengatakan Washington sangat mendukung perdamaian yang bertahan agar warga Israel dan Palestina bisa hidup dalam perdamaian dan keamanan. Bukan gencatan senjata “yang hanya menanam benih-benih untuk perang selanjutnya.”
Pemerintahan Biden sudah mengatakan akan mendukung perpanjangan jeda, seperti jeda kemanusiaan yang berlangsung selama tujuh hari pada November. Jeda tersebut membuka jalan pembebasan lebih dari 100 sandera yang ditahan oleh Hamas dan 300 tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel. AS dan Israel menyalahkan penolakan Hamas untuk membebaskan para sandera perempuan muda sebagai sumber kegagalan jeda itu.
Hamas mengutuk veto AS atas draf resolusi itu dengan menggambarkannya sebagai tidak etis dan tidak berperikemanusiaan.
Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara menggelar pertemuan pada Jumat (8/12) pagi setelah Sekretaris Jenderal PBB menyurati mereka pada Rabu (6/12) bahwa dia akan menerapkan Pasal 99 Piagam PBB. Pasal tersebut memberi Guterres kekuasaan untuk mendesak DK mengambil tindakan atas masalah apa saja yang menurutnya bisa mengancam perdamaian dan keamanan internasional.
Ini adalah pertama kalinya Guterres menerapkan pasal itu selama tujuh tahun menjabat yang dipenuhi oleh berbagai krisis. Pasal 99 terakhir kali diterapkan pada 1971 saat pertikaian yang berujung pada pendirian Bangladesh dan pemisahan negara itu dari Pakistan.
Tuai Protes
Duta Besar Inggris Barbara Woodward menyebut penderitaan warga Palestina “mengerikan dan menyedihkan”. Dia juga mengatakan lebih banyak jeda dan durasi jeda yang lebih panjang sangat penting untuk mengirimkan bantuan dan pembebasan sandera.
“Namun, kita tidak memilih resolusi yang tidak mengutuk kekejaman yang dilakukan Hamas terhadap warga sipil Israel yang tidak berdosa pada 7 Oktober,” kata Woodward. “Menyerukan gencatan senjata sama saja dengan mengabaikan fakta bahwa Hamas sudah melakukan aksi teror dan menyandera warga sipil.”
Wakil Duta Besar Uni Emirat Arab (UEA) Mohamed Abushahab mengatakan bahwa sangat disesalkan di tengah penderitaan yang tak terperikan, DK tidak bisa menuntut gencatan senjata kemanusiaan.
“Mari saya perjelas: Dengan adanya peringatan keras dari Sekjen PBB, seruan dari para pelaku kemanusiaan, dan opini publik dunia – dewan ini menjadi terisolasi,” ujar Abushahab.
Duta Besar Palestina mengatakan kegagalan DK PBB untuk menuntut gencatan senjata akan memicu konsekuensi yang berbahaya.
“Ratusan orang akan terbunuh pada saat ini besok. Kemudian ratusan lagi, dan kemudian ribuan,” kata Mansour. “Anak-anak akan terbunuh. Menjadi yatim-piatu. Cedera. Cacat seumur hidup.”
Duta Besar Israel mengucapkan terima kasih kepada AS atas dukungannya dan mengatakan gencatan senjata memungkinkan dengan kembalinya seluruh sandera dan kehancuran Hamas.
Sejumlah organisasi bantuan kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia (HAM) mengkritik Washington.
“Pemerintah AS berdiri sendiri untuk memveto gencatan senjata membawa kredibilitas AS untuk masalah HAM ke ambang kehancuran,” kata Abby Maxman, Presiden dan Kepala Eksekutif (CEO) Oxfam America.
“Sekali lagi, AS menggunakan hak vetonya untuk mencegah Dewan Keamanan agar tidak melakukan imbauan-imbauan yang telah AS tuntut sendiri dari Israel dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina, termasuk kepatuhan terhadap hukum humaniter internasional, perlindungan warga sipil dan pembebasan semua warga sipil yang disandera,” kata Louis Charbonneau, Direktur PBB pada Human Rights Watch.
“Dengan terus menyediakan persenjataan dan perlindungan diplomatik untuk Israel sementara negara itu melakukan kekejaman, termasuk menerapkan hukuman kolektif terhadap populasi warga sipil Palestina di Gaza, AS berisiko terlibat dalam kejahatan perang,” kata Charbonneau memperingatkan. [ft/ah]