Ditemani staf pembela KontraS, keluarga Dani Susanda telah 3 kali melaporkan kasus dugaan penyiksaan dan penghilangan barang bukti yang dilakukan anggota Polres Tasikmalaya, Jawa Barat ke Mabes Polri. Dani Susanda adalah terdakwa kasus pembunuhan yang divonis bebas di Pengadilan Negeri (PN) Tasikmalaya, namun divonis 12 tahun saat di tingkat kasasi.
Menurut Andi Muhammad Rezaldy, aktivis KontraS yang menemaninya, petugas piket Mabes Polri menolak laporan keluarga Dani dengan berbagai alasan. Antara lain, meminta Kontras menyurati Kapolri dan Kabareskrim terlebih dahulu untuk mendalami peristiwa tersebut, serta melapor ke Propam.
"Pertama melaporkan ke Propam. Ini bukanlah pelanggaran etik dan disiplin. Itu artinya terbantahkan. Kedua soal alat bukti, kita sudah menghadirkan istri Dani Susanda dan lembaran kronologis dari korban langsung dan petunjuk putusan yang kita bawa," jelas Andi Muhammad Rezaldy di kantor KontraS, Jakarta, Senin (2/7).
Andi menambahkan lembaganya tidak akan melaporkan kasus ini ke Propam Mabes Polri karena tindakan anggota Polres Tasikmalaya merupakan pidana penganiayaan dan kejahatan jabatan. Kata Andi, pencarian barang bukti juga merupakan tugas penyidik, bukan sebaliknya dari sisi pelapor.
Karena itu, Kontras menyesalkan sikap tidak profesional yang dilakukan aparat Mabes Polri yang menolak laporan dugaan kasus kekerasan dan penghilangan barang bukti dalam kasus Dani Susanda.
"Bentuk penyiksaan, yang dikatakan Dani Susanda itu, dia diancam jarinya akan dipotong oleh samurai. Akhirnya ia mengakui, walaupun dia tidak melakukan kejahatan seperti yang dimaksud kepolisian," imbuhnya.
Terkait penyiksaan yang diduga dilakukan polisi juga tertuang dalam putusan PN Tasikmalaya yang menyebutkan polisi melakukan intimidasi terhadap Dani ke dalam kantong mayat dan penyiksaan fisik. Dalam putusan itu, juga disebut, Dani sedang menonton sepak bola di rumahnya saat kejadian.
Dani Susanda kini masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Ciamis, Jawa Barat berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada 2015 atas kasus pembunuhan terhadap Ai Cucu dan Elis pada 2014 silam.
Menanggapi desakan Kontras ini, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan kasus ini cukup dilaporkan ke Polres saja, tidak perlu ke Mabes Polri.
Kontras mencatat ada 57 peristiwa penyiksaan yang diduga melibatkan anggota kepolisian yang terjadi pada Juni 2018 hingga Mei 2019. Sebagian besar penyiksaan tersebut dilakukan untuk mendapatkan pengakuan. Sementara dari sisi korban penyiksaan, 51 kasus merupakan korban salah tangkap.
Juni lalu. Koordinator KontraS Yati Andriyani, menyayangkan Indonesia yang tak kunjung membenahi kasus-kasus penyiksaan, meskipun sudah meratifikasi konvensi internasional anti-penyiksaan sejak 21 tahun lalu.
“Saya mau sampaikan saat ini sudah 21 tahun pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi internasional anti-penyiksaan. Kita bisa bayangkan sudah 21 tahun, tapi kalau kita bandingkan kepada situasi sekarang ternyata praktik-praktik penyiksaan masih terjadi," jelas Yati Andriyani di Jakarta, Rabu (26/6). [sm/em]