Tautan-tautan Akses

Indonesia Kembali Serukan Pemerintah Afghanistan dan Taliban Lanjutkan Dialog


Pejuang Taliban berpatroli di dalam kota Farah, Ibu Kota Provinsi Farah barat daya Kabul, Afghanistan, 11 Agustus 2021. (Foto: AP)
Pejuang Taliban berpatroli di dalam kota Farah, Ibu Kota Provinsi Farah barat daya Kabul, Afghanistan, 11 Agustus 2021. (Foto: AP)

Pemerintah Indonesia menyerukan pada pemerintah Afghanistan dan Taliban untuk kembali melanjutkan dialog perdamaian di tengah memburuknya situasi keamanan, yang membuat beberapa negara memerintahkan warga negara mereka untuk segera meninggalkan negara itu.

Dewan Tinggi Rekonsiliasi Nasional Afghanistan Abdullah Abdullah, Sabtu (14/8), kembali ke Kabul dengan usul kesepakatan politik, yang kabarnya mencakup gencatan senjata, antara Presiden Ashraf Ghani dan Taliban. Sebelumnya ia berada di Doha, Qatar, untuk membahas keputusan Ghani dengan Taliban. Perkembangan terbaru ini belum membuat perubahan berarti di tengah gencarnya perebutan sejumlah ibu kota provinsi oleh Taliban dan memburuknya situasi keamanan.

Sebelumnya Amerika mengirimkan 3.500 hingga 4.000 personil tentara ke pangkalan militer di Kuwait, di mana mereka siaga sambil membantu proses evakuasi warga Amerika dari Afghanistan. Untuk tujuan yang sama Inggris pada 12 Agustus juga mengirim 600 personil tentaranya. Kedua negara merupakan bagian dari beberapa negara yang memerintahkan warga negaranya untuk segera meninggalkan Afghanistan.

Dalam delapan hari terakhir ini Taliban dengan cepat merebut 17 dari 34 ibu kota provinsi. Diawali dari Zaranj di Provinsi Nimruz, kemudian berlanjut dengan Syabarghan di Provinsi Jauzan, Kunduz di Provinsi Kunduz, Saripul di Provinsi Saripul, Talaqan di Provinsi Takhar, Aibak di Provinsi Samangan) Farah di Provinsi Farah, Puli Khumri di Provinsi Baghlan, Faizabad di Provinsi Badakhsyan, Ghazni di Provinsi Ghazni, Kandahar di Provinsi Kandahar, Herat di Provinsi Herat, Qalai Nau di Provinsi Baghlan, Firuzkugh di Provinsi Ghor, Lasykargah di Provinsi Helman, Puli Alam di Provinsi Logar, dan Qalat di Provinsi Zabul.

Menanggapi perkembangan di Afghanistan itu, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jaelani kepada VOA, Jumat (13/8), menyerukan kepada pemerintah Afghanistan dan Taliban untuk kembali melanjutkan dialog sehingga dapat terwujud penyelesaian politik oleh dan untuk rakyat Afghanistan sendiri. Indonesia masih percaya solusi politik dapat terwujud. Ia juga menyampaikan kesiapan Indonesia untuk berperan akfif dalam proses mencapai perdamaian ini dengan menjadi fasilitator,

Maulvi Abdul S. Hanafi, Deputy Head PO, IEA dan delegasi pendampingnya bertemu dengan Mr. Abdul Qadir Jilani, Wakil Menteri Luar Negeri RI dan delegasi pendampingnya membahas proses perdamaian yang sedang berlangsung dan status quo Afghanistan. (Foto: Cou
Maulvi Abdul S. Hanafi, Deputy Head PO, IEA dan delegasi pendampingnya bertemu dengan Mr. Abdul Qadir Jilani, Wakil Menteri Luar Negeri RI dan delegasi pendampingnya membahas proses perdamaian yang sedang berlangsung dan status quo Afghanistan. (Foto: Cou

"Kita melakukan komunikasi dengan semua pihak. Indonesia selalu berkomunikasi dengan pihak pemerintah Afghanistan, dengan Taliban, dan dengan semua pemain kunci. (Dengan) semuanya kita melakukan komunikasi secara intensif," kata Abdul Kadir.

Abdul Kadir mengatakan Kementerian Luar Negeri sedang dalam persiapan rencana untuk mengevakuasi warga negara Indonesia di Afghanistan.

Kelompok militan Taliban berjaga-jaga di barat daya Kabul, Afghanistan. (Foto: AP)
Kelompok militan Taliban berjaga-jaga di barat daya Kabul, Afghanistan. (Foto: AP)

Amerika dan NATO Tarik Pasukan, Keamanan Memburuk

Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah mengatakan keberhasilan Taliban menguasai setengah dari 34 provinsi di Afghanistan belum tentu menunjukkan ada ketidakpuasan terhadap pemerintahan Afghanistan yang sekarang dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani.

Dia menambahkan mundurnya pasukan Amerika dari Afghanistan menjadi penyebab kekalahan pasukan pemerintah Afghanistan.

Syauqillah menambahkan negara-negara di kawasan Asia Tengah harus siap merespon kalau nantinya Taliban bisa memegang kendali kekuasaan di Afghanistan.

Ini akan mempengaruhi dinamika geopolitik regional dan menarik untuk dilihat. Misalnya apakah negara-negara kawasan mau bernegosiasi atau berhubungan dengan Afghanistan.

"Mulai dari sekarang komunitas internasional perlu memikirkan format seperti apa yang dilihat kalau Taliban berkuasa. Atau malah situasinya memburuk. Misalkan ada perlawanan yang cukup alot antara rezim dengan Taliban," ujar Syauqillah.

Mengenai sikap yang mesti dikedepankan Indonesia, Syauqillah menilai peran Indonesia harus lebih menggedepankan perdamaian dan mendorong dialog antara kedua pihak bertikai di Afghanistan untuk bersatu sehingga perang tidak berkepanjangan.

Syauqillah belum bisa membaca bagaimana sikap pemerintah Indonesia kalau Taliban nantinya berkuasa di Afghanistan. Dia juga belum menjawab apakah Taliban akan menampikan wajah Islam moderat jika mereka berkuasa lagi di Afghanistan atau tetap konservatif-radikal.

Memenuhi janjinya dalam perundingan dengan Taliban di Doha, Qatar, pada awal tahun 2020, Amerika dan NATO menarik mundur seluruh pasukannya, selambat-lambatnya pada 11 September mendatang, yang sekaligus bertepatan dengan 20 tahun pasca serangan teroris di Amerika.

Meskipun demikian Sekjen NATO Jens Stoltenberg, sesuai pertemuan Dewan Atlantik Utara, Kamis (12/8), mengatakan “NATO akan mempertahankan kehadiran diplomatiknya di Kabul dan sedapat mungkin menyesuaikan diri” dan NATO masih akan terus “mendukung pemerintah dan pasukan keamanan Afghanistan sebisa mungkin.” [fw/em]

XS
SM
MD
LG