Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam jumpa pers secara virtual 5 Agustus lalu mengatakan telah melangsungkan pembicaraan telpon dengan Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo pada 3 Agustus, di mana mereka membahas perkembangan situasi di Afghanistan dan Laut China Selatan.
Terkait proses perdamaian di Afghanistan, Retno dan Pompeo mendiskusikan upaya bersama untuk mendorong terlaksananya “intra-Afghanistan” –julukan bagi perundingan antara pemerintah dengan berbagai faksi atau kelompok di Afghanistan yang menjadi proses penting dalam penyelesaian konflik di Afghanistan– melalui proses yang dilakukan oleh mereka sendiri.
"Indonesia menyampaikan kembali komitmennya untuk terus berkontribusi dalam proses perdamaian dan membangun perdamaian yang lestari di Afghanistan," ujar Retno.
Menlu Serukan Semua Pihak Hormati Hukum Internasional
Sementara mengenai perkembangan situasi di Laut China Selatan, Retno menekankan bahwa Indonesia ingin terus menjaga agar Laut China Selatan menjadi kawasan yang stabil dan damai.
"Untuk itu Indonesia selalu menekankan pentingnya semua pihak menghormati hukum internasional, hukum yang telah menjadi kesepakatan internasional, termasuk Hukum Laut Internasional 1982," kata Retno.
Retno secara khusus menegaskan konflik terbuka di mana saja, termasuk di Laut China Selatan, tidak akan menguntungkan pihak manapun.
Sebelumnya Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia perlu menyampaikan pada dunia bahwa Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan, baik laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.
Ketegasan ini perlu disampaikan karena Indonesia tidak pernah mengakui adanya klaim sepihak dari China terkait sembilan garis putus. Klaim tersebut dinegasikan oleh Indonesia dengan melakukan penangkapan terhadap kapal-kapal nelayan berbendera China yang memasuki wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
Indonesia harus mempunyai perhatian besar agar ketegangan antara dua negara besar di Laut China Selatan tidak berubah menjadi perang antar dua negara besar.
Hikmahanto menegaskan China tidak seharusnya menggunakan kekerasan untuk menegaskan klaimnya karena hukum internasional tidak mengakui penggunaan kekerasan untuk perolehan wilayah.
Amerika juga tidak sepatutnya menggunakan kekerasan karena berada di luar kawasan. Jangan sampai Laut China Selatan menjadi medan pertempuran Amerika, tegasnya.
Lebih jauh Hikmahanto mengatakan Indonesia harus menyampaikan kesediaan untuk menjadi juru damai yang tidak memiliki kepentingan. Indonesia pantas menjadi mediator karena Indonesia adalah negara anggota ASEAN yang besar dan tidak mempunyai konflik dengan China dan Amerika.
Pakar : Indonesia Harus Minta China Tak Manfaatkan Kondisi Pandemi
Indonesia harus dapat menyampaikan kepada China agar tidak memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 untuk meraih keuntungan dalam klaimnya di Laut China Selatan, bahkan hingga menutup jalur pelayaran internasional. Bila China memanfaatkan pandemi ini, lanjut Hikmahanto, maka China tidak hanya berhadapan dengan negara-negara yang bersengketa dengannya, seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina, tetapi berhadapan dengan Amerika dan sekutunya.
Indonesia juga harus menyampaikan kepada Amerika untuk dapat menahan diri dalam penggunaan kekerasan terhadap China karena tidak akan memberi keuntungan apapun kepada negara-negara di kawasan.
Sedikitnya Enam Negara Klaim Kepemilikan
Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.
Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan ekploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut China Selatan.
Nilai komoditas perdagangan melewati Laut China Selatan setiap tahun mencapai US$ 3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia. Sekitar 80 persen dari impor energi China dan 39,5 persen dari total perdagangan mereka melewati Laut China Selatan.
Sejak 2013, China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan ini mengundang kecaman internasional. Mulai 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut China Selatan.[fw/em]