Nota kesepahaman atau MoU oleh Institut Mosintuwu dan Polres Poso untuk memastikan upaya menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Penandatanganan MoU itu dilakukan oleh Direktur Institut Mosintuwu Nerlian Gogali dan Kapolres Poso AKBP Bogiek Sugiyarto di Dodoha Mosintuwu, Tentena. Kerjasama dilakukan tepat pada Hari Kartini (21/4), yang melambangkan upaya terus menerus untuk meneruskan perjuangan Kartini untuk perempuan dan anak di Indonesia.
Direktur Institut Mosintuwu Nerlian Gogali mengatakan penandatanganan Nota Kesepahaman itu merupakan langkah maju untuk memastikan agar masyarakat bisa membangun kebudayaan yang bebas kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Poso.
“Menandatangani ini adalah sebuah awal komitmen yang sebenarnya sudah lama kami mimipikan, karena berjalan sendiri khususnya ibu-ibu di desa yang bergabung di tim Rumah Perlindungan Perempuan dan anak berjalan sendiri untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang hampir setiap hari terjadi. Ada yang dilaporkan, ada yang dicabut, ada yang dilaporkan tapi kemudian malah jadi bumerang buat para pendamping,” ungkap Nerlian.
Lian mengatakan masyarakat didorong supaya tidak takut melapor untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sehingga polisi dapat menangani kasus yang ada secara lebih terbuka.
Evi Tampataku, koordinator Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA) Mosintuwu mengungkapkan sejak tahun 2014 ada puluhan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yaitu 30 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), 31 kasus kekerasan seksual dan 2 kasus perkosaan, di mana 7 di antaranya menyebabkan kehamilan, penelantaran anak dan sebagainya.
Sayangnya, dalam pendampingan kasus tersebut, RPPA Mosintuwu sering berhadapan situsi penyelesaian kasus secara ganti rugi atau penyelesaian kasus secara kekeluargaan. Di sisi yang lain juga terdapat kasus yang tidak dilaporkan oleh masyarakat.
“Kami juga berhadapan dengan tokoh-tokoh agama yang memilih menyelesaikan permasalahan dengan ganti rugi uang disatu pihak kami juga berhadapan dengan oknum aparat kepolisian yang memfasilitasi penghentian kasus. Hambatan dan tantangan ini membuat Tim RPPA seperti jalan memutar yang tidak bisa memberi efek jera kepada para pelaku atau calon pelaku yang membuat kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin merajalela,” ujar Evi.
Nota kesepahaman antara Institut Mosintuwu dan Polres Poso ini memuat dua kesepakatan, yaitu kerjasama untuk memberikan informasi dan pengetahuan hukum kepada masyarakat tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta kekerasan dalam rumah tangga; dan Pendampingan dan penanganan hukum yang adil terhadap korban dugaan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kapolres Poso AKBP Bogiek Sugiyarto menjelaskan lahirnya kesepakatan bersama itu berangkat dari kesadaran bahwa Polisi memerlukan dukungan keterlibatan semua pihak termasuk kalangan LSM mencegah dan memberikan perlindungan terhadap anak-anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan di Poso.
“Yang akan dicapai adalah kerjasama, menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama, diberi akses untuk Insitut Mosintuwu melakukan pendampingan, berdiskusi dengan kita, melakukan pendataan bahkan mungkin kearah penelitian bagaimana supaya kaitan permasalahan dengan anak dan perempuan di Poso itu bisa disimpulkan apa penyebabnya,” jelas Bogiek.
Remaja L (16) seorang korban kasus kekerasan pemerkosaan yang membuatnya hamil dan melahirkan seorang anak, kepada VOA berharap kerjasama antara Institut Mosintuwu dan Polres Poso itu dapat menyelamatkan apa yang disebutnya sebagai calon korban maupun korban dari kekerasan seksual seperti yang pernah dialaminya.
"Kalau saya sebagai korban saya bersyukur adanya penandatanganan kerjasama MoU karena akan lebih banyak lagi calon korban dan korban yang akan terselamatkan, sayakan selaku korban sudah diselamatkan oleh tim RPPA Mosintuwu, semoga tidak ada lagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak," harap L.
Diakuinya dengan dukungan RPPA Mosintuwu, secara perlahan ia dapat memulihkan rasa trauma akibat peristiwa di tahun 2017 yang menghancurkan masa depannya. Ia juga berencana melanjutkan kembali pendidikannya yang sempat tertunda. [yl/gp]