Media pemerintah Birma mengumumkan bahwa parlemen Birma akan mengadakan sidang pertamanya tanggal 31 Januari. Ini akan menjadi yang pertama kalinya badan legislatif bersidang di negara itu sejak tahun 1988.
Partai Solidaritas Persatuan dan Pembangunan memenangkan sebagian besar kursi parlemen. Konstitusi tahun 2008 memberikan 25 persen kursi secara otomatis kepada militer.
Militer mengatakan pemilu tersebut adalah bagian dari rencana untuk menggerakkan demokrasi dan kekuasaan sipil.
Namun, kelompok-kelompok oposisi Birma dan masyarakat internasional mengecam pemilihan itu tidak adil karena membatasi kemampuan calon-calon oposisi berkampanye.
Banyak diantara calon termasuk tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi dilarang mencalonkan diri.
Sunai Pasuk perwakilan organisasi Human Rights Watch di Bangkok mengatakan, "Apakah ini akan benar-benar mengubah Birma? Apakah ini akan membawa perbaikan serius pada apa yang disebut keterbukaan negara, ke arah lebih demokratis ? Tidak sama sekali; karena ini hanya peresmian konsolidasi kekuasaan. Ini hanya peresmian dominasi militer di Birma."
Hari Senin militer juga mengatakan akan menjalankan UU wajib militer bagi laki-laki dan perempuan.
Carl Thayer, seorang ahli politik dari Universitas New South Wales di Australia mengatakan hal itu bisa berarti angkatan bersenjata bersaing untuk merekrut orang-orang yang saat ini bekerja pada sektor-sektor swasta di Birma.
Menurut Thayer, "Itu akan memungkinkan pemerintah me-wajib militerkan orang-orang dengan pendidikan atau latar belakang teknis yang dianggap pantas, yang lebih diperlukan dan juga memungkinkan perempuan ditugaskan pada bidang pelayanan teknis. Dengan UU militer suka rela, perusahaan-perusahaan swasta akan bersaing untuk mendapatkan orang-orang terbaik di negara itu."
Kelompok-kelompok HAM menuduh angkatan bersenjata Birma menggunakan tentara anak-anak dan memaksa warga sipil bekerja sebagai pembersih ranjau, dan pengangkut barang. Angkatan bersenjata dilaporkan kesulitan mempertahankan jumlah pasukan karena banyak yang melarikan diri dari angkatan bersenjata.
Berdasarkan UU baru tersebut, para pengelak wajib militer bisa menghadapi hukuman penjara sampai lima tahun. UU baru itu juga akan memungkinkan militer untuk menarik wajib militer dari universitas-universitas yang sering dianggap sebagai sumber utama pembangkang.