Di negara-negara bagian Myanmar yang dihuni oleh penduduk etnis, lebih dari 200.000 orang masih tinggal di pengungsian akibat perang masa lalu dan kekerasan etnis. Banyak kelompok etnis itu menggantungkan harapan mereka pada Aung San Suu Kyi, yang berjanji membawa perdamaian antara pasukan etnis dan tentara yang berkuasa di negara itu.
Seorang ibu di Kachin, Dah Poh terlalu sibuk mengawasi ketiga anaknya di kamp Myitkyina, kamp untuk pengungsi atau IDP, dan tidak sempat memberikan suara November lalu. Sekarang dia menunggu hari bagi suaminya - seorang tentara Kemerdekaan Kachin, bisa pulang ke rumah.
"Saya berharap suatu hari nanti, kami bisa kembali ke desa kami setelah masalah politik diselesaikan. Sekarang suami saya hanya bisa pulang satu kali dalan setahun, dan saya tidak bisa bekerja di luar kamp karena anak-anak saya masih kecil dan saya harus menjaga mereka dan bersama mereka,” ungkap Dah Poh, seorang ibu di Kachin.
Tetapi para pengecam mempertanyakan efektivitas perundingan perdamaian nasional dan mengatakan, perundingan itu bertujuan membagi faksi-faksi etnis. Negara bagian Shan, yang baru-baru ini ikut menandatangani perjanjian gencatan senjata yang berlaku untuk seluruh negara, kini bertempur melawan sebuah kekuatan etnis disana.
Pengamat Myanmar dan penulis Bertil Lintner mengatakan, strategi ini bukan hal baru bagi militer yang berkuasa dalam menghadapi pasukan etnis selama puluhan tahun.
"Militer bertempur di belakang layar. Mereka tidak ingin terlihat aktif menyerang, jadi mereka memanfaatkan kelompok tertentu, tentara Shan, untuk melawan Palang dan ini untuk kepentingan militer karena kita harus ingat, apa yang mereka inginkan adalah kemenangan pada akhirnya. Mereka ingin mengalahkan kelompok-kelompok ini," ujar Bertil Lintner, Analis Myanmar/Penulis
Sementara konflik ini berlangsung terus, banyak kelompok etnis tetap mempertahankan persenjataan mereka karena curiga pada konstitusi 2008 yang condong mempertahankan kekuasaan militer.
"Mereka seperti sebuah organisasi independen. Mereka tidak dikendalikan oleh parlemen, tidak dikontrol oleh pemerintah. Mereka independen. Jadi ini tantangan terbesar bagi Liga Nasional Demokrasi atau NLD ," ungkap Tar Pa La, jurubicara TNLA (dalam bahasa Inggris)
Untuk saat ini, semua mata tertuju pada langkah NLD berikutnya, dan berharap akan ada petunjuk kapan ribuan pengungsi akan bisa pulang kembali ke tempat tinggal masing-masing. [SS/PS/JM]