Setelah kasus pemerkosaan YY oleh 14 laki-laki di Bengkulu akhir April lalu, sejumlah kasus pemerkosaan lain terjadi susul menyusul. Sebut saja pemerkosaan seorang gadis oleh 15 laki-laki di Manado awal Mei dan seorang bayi berusia 2,5 tahun oleh tetangganya di Depok hari Rabu (11/5) ini. Seakan berlomba dengan maraknya kekerasan terhadap anak itu, untuk kesekian kalinya Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas bersama sejumlah menteri terkait, antara lain Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, Kapolri Badrodin Haiti dan Ketua Komisi Perlindungan Anak KPAI Asrorun Ni’am Sholeh.
Aktivis Perempuan Kecam Pemberatan Hukuman dengan Kebiri
Banyak pihak menyambut gembira ketika Presiden Joko Widodo hari Selasa (10/5) menyatakan kejahatan seksual terhadap anak (KSTA) sebagai kejahatan luar biasa yang pelakunya harus diberi pemberatan hukuman. Tetapi sambutan itu berubah total ketika Menko PMK Puan Maharani hari Rabu (11/5) menyatakan pemerintah siap mengeluarkan Perppu yang mengandung pemberatan hukuman, termasuk menjatuhkan hukuman kebiri dan memasang microchip terhadap pelaku kejahatan seksual.
“Dalam ratas tadi memutuskan berkaitan dengan perlindungan KSTA maka payung hukumnya adalah mengeluarkan Perppu. Apa yang jadi Perppu adalah pemberatan hukuman berkaitan hukuman pokok maksimal 20 tahun dan hukuman tambahan yang akan dilakukan kebiri dan diberikan chip supaya pelaku itu bisa dideteksi dan dipantau. Juga akan ada publikasi identitas dan hukuman sosial terhadap mereka,” ujar Puan Maharani.
Ninik Rahayu : Presiden Tidak Dapat Penjelasan Lengkap tentang Kejahatan Seksual
Aktivis perempuan yang juga salah seorang pimpinan di Ombudsman Ninik Rahayu kepada VOA Rabu siang (11/5) menyesalkan keputusan itu. Menurutnya presiden tidak mendapat penjelasan lengkap tentang kejahatan seksual dan hukuman yang mendidik.
“Saya punya keyakinan 100% bahwa Presiden tidak mendapat informasi yang utuh apa yang seharusnya dilakukan. Karena jika tidak disampaikan oleh orang-orang yang memiliki pengalaman di lapangan, bagaimana mereka mendampingi korban dan sebagainya, maka dengan mudah akan mengatakan “ya sudah begini saja.” Bagi kami, melindungi dan memulihkan korban itu penting, tetapi mengembalikan pelaku untuk menjadi manusia yang bermartabat dan tidak mengulangi kejahatannya juga menjadi sangat penting.”
Pakar Hukum Nilai Negara Gagal Memberi Perlindungan
Kecaman serupa disampaikan oleh guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Sulistyowati Irianto, yang menilai hukum telah gagal memberi perlindungan.
“Hukum dan tatanan sosial kita tidak bekerja. Demikian pula dengan solidaritas sosial, etika dan keadaban publik. Reaksi masyarakat beranekaragam dan mulai mengarah kepada hal yang benar yaitu perlunya aturan hukum yang lebih tegas seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tetapi ada pula reaksi bernuansa “politik” yang mengatasnamakan moral, yang justru mengaburkan kejahatan perkosaan dan mengalihkan perhatian pada miras, mitos ketubuhan perempuan atau yang seperti sekarang ini – hukuman kebiri – yang tidak memberi solusi yang adil bagi korban dan masyarakat,” papar Prof. Sulistyowati Irianto.
Aktivis Perempuan Nilai Pendekatan Teraputik Lebih Bermanfaat
Ninik Rahayu yang mengatakan siap menemui presiden kapan pun bersama para aktivis perempuan lainnya, menyesalkan sikap menyederhanakan masalah dengan memberi putusan kebiri dan menanamkan microchip pada pelaku kejahatan seksual. Ninik Rahayu yang pernah menjadi komisioner KOMNAS Perempuan mengatakan yang terpenting adalah mengubah pola pikir dan kultur.
“Dari sisi korban, tidak selamanya kekerasan seksual itu menggunakan penis. Jadi kalau pun penisnya dikebiri, kekerasan seksual itu akan tetap terjadi karena bisa menggunakan media yang lain. Saya pernah mendampingi sembilan anak perempuan, meski yang mengakui terjadinya kekerasan seksual itu empat anak perempuan, kekerasan seksual terhadap mereka dilakukan oleh seorang kiai tidak menggunakan penis, tetapi jari tangan, untuk merusak vagina. Apakah nantinya yang akan dikebiri adalah tangannya? Atau bagaimana yang melakukannya dengan alat-alat lain, seperti kasus di KOMNAS Perempuan, kekerasan seksual terhadap korban dilakukan dengan pisang. Ini yang jadi masalah bukan media yang digunakan, bukan soal penis, jari atau pisang, tetapi mindset! Pola pikirnya yang harus disembuhkan.”
Megawati Soekarnoputri akan Sampaikan Pidato Kebudayaan “Indonesia Melawan Kekerasan Seksual”
Hingga laporan ini disampaikan Perppu yang akan memuat pemberatan hukuman dan hukuman tambahan itu memang masih dirumuskan dan belum jelas kapan akan diundangkan. Tetapi para aktivis perempuan yang diwawancarai VOA mengatakan akan menggugat hal itu, termasuk mengkaji ulang di tingkat DPR jika kelak diajukan pemerintah menjadi bagian dari undang-undang.
Menurut rencana Presiden kelima Indonesia Megawati Soekarnoputri Kamis pagi (12/5) akan menyampaikan pidato kebudayaan “Indonesia Melawan Kekerasan Seksual” yang sekaligus merupakan desakan untuk mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pidato yang akan disampaikan di kompleks Metropol Megaria – Jakarta akan dihadiri oleh ratusan aktivis dan lembaga sosial masyarakat. [em/al]