Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro mengatakan dugaan terjadinya maladministrasi yang disampaikan Ombudsman tidak berdasar. Sebelumnya Ombudsman menduga MA telah mengabaikan Peraturan MA nomor 3 tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan.
Andi Samsan beralasan Perma tersebut tidak dapat digunakan dalam kasus ini karena Baiq Nuril merupakan terdakwa.
"Yang dimaksud dengan perempuan berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, sebagai korban, sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak. Nah di dalam perkara ini, terdakwa ini perempuan sebagai terdakwa," jelas Andi Samsan Nganro di kantor Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Andi menambahkan Baiq Nuril juga terbukti merekam dan mendistribusikan materi yang melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Andi juga menuturkan lembaganya tidak bisa mengadili dugaan Baiq Nuril sebagai korban pelecehan seksual. Sebab, kasus ini tidak masuk dalam perkara yang disidangkan di Mahkamah Agung. Kata Andi, kasus dugaan pelecehan tersebut bisa dilaporkan sendiri oleh Baiq Nuril untuk dapat diproses secara hukum.
"Kalau Baiq Nuril merasa sebagai korban. Tempuh jalur balik, laporkan jalur terpisah. Kalau dia terungkap di persidangan sebenarnya korban itu boleh jadi. Tapi dia didakwa dan menurut majelis hakim kasasi itu dia menyadari ada ancaman hukum UU ITE," imbuhnya.
Menanggapi pernyataan ini, Direktur Eksekutif ICJR Anggara berpendapat MA tidak bisa mengecualikan PERMA tersebut kepada terdakwa perempuan. Sebab, PERMA tersebut tidak secara spesifik menjelaskan status perempuan di depan hukum.
"Perempuan yang berhadapan dengan hukum itu bisa siapapun. Bisa korban, saksi atau terdakwa. Jadi tidak bisa PERMA tersebut diletakkan kalau dia korban. PERMA tersebut tidak bicara perempuan sebagai korban, dalam banyak kedudukan," jelas Anggara saat dihubungi VOA.
Anggara juga mengkritisi MA yang tidak mempertimbangkan tidak adanya niat jahat Baiq Nuril dalam kasus ini. Sebab, menurutnya yang dilakukan Baiq Nuril dalam kasus ini dalam rangka meminta pertolongan kepada seseorang ketika menjadi korban pelecehan seksual.
Di samping itu, bukti rekaman yang dihadirkan dalam persidangan juga merupakan salinan rekaman atau bukan rekaman pertama milik Baiq Nuril. Menurutnya, hal ini dapat menjadi preseden buruk ke depan karena dapat menjerat orang-orang lain hanya dengan bukti salinan rekaman.
Kendati demikian, Anggara tetap menyayangkan MA ikut berpolemik dengan menggelar konferensi pers tentang kasus Baiq Nuril. Menurutnya, MA semestinya segera mengeluarkan putusan MA sehingga dapat dikaji oleh publik. Selanjutnya, publik bisa memberikan masukan kepada MA melalui eksaminasi putusan.
Kasus mantan guru honorer di Mataram, Nusa Tenggara Barat ini bermula pada 2012, saat ia merekam kepala sekolah tempat dia bekerja berinisial M, yang menceritakan hubungan seksualnya dengan perempuan lain bukan istrinya. Baiq kemudian menuturkan soal rekaman tersebut ke rekannya Imam Mudawin. Rekaman tersebut kemudian disebarkan Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga Mataram dan ke tangan-tangan lain.
Tidak terima, M kemudian melaporkan Baiq ke polisi dan kasusnya berlanjut ke persidangan. Pengadilan Mataram memutus Baiq tidak bersalah, namun di tingkat MA Baiq diputus bersalah. Oleh Ombudsman, kasus ini diduga berpotensi melanggar administrasi karena diduga mengabaikan Peraturan MA nomor 3 tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan. (sm/em)