Sebuah laporan baru dari organisasi Transparency International menyatakan tindak penyuapan asing masih berlangsung dan subur.
Laporan (https://www.transparency.org/news/feature/exporting-corruption-2018), oleh pengawas korupsi yang bermarkas di Berlin, menunjukkan hanya sedikit perubahan dalam beberapa tahun terakhir dalam cara pemerintah memberlakukan hukum anti suap. Saat ini, hanya tujuh negara pengekspor utama yang secara aktif menindak perusahaan-perusahaan yang menawarkan suap kepada pejabat asing sebagai imbalan bagi tawaran bisnis yang menguntungkan.
Amerika merupakan salah satu dari tujuh negara yang mencakup 27 persen pengekspor dunia, kata Transparency International. Yang lainnya adalah Jerman, Israel, Italia, Norwegia, Swiss, dan Inggris.
Menurut laporan tersebut antara 2014 dan 2017, Amerika melancarkan sekurangnya 32 penyelidikan, membuka 13 kasus dan menyimpulkan 98 kasus yang melibatkan tindak penyuapan asing, Aktivitas penegakan meningkat tahun 2016, mencapai rekor denda $2,5 miliar yang dikenakan oleh pihak berwenang AS.
Di antara beberapa kasus suap asing yang ramai diberitakan dan diputuskan di Amerika, laporan itu mengutip kasus di mana pembuat mesin pesawat Inggris Rolls-Royce membayar penegak hukum di Amerika, Inggris dan Brasil $800 juta pada tahun 2017 untuk menyelesaikan tuduhan-tuduhan menyuap pejabat pada sekurangnya selusin negara selama dua dekade lebih.
Laporan ini menilai kinerja 44 negara pengekspor utama, termasuk 40 negara yang telah menandatangani Konvensi Anti-Penyuapan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Konvensi tahun 1997 itu mewajibkan para penandatangan konvensi menjadikan penyuapan pejabat asing oleh perusahaan dan individu di negara mereka sebagai sebuah kejahatan.
Laporan terakhir Transparency International mengenai masalah ini (https://www.transparency.org/exporting_corruption), dirilis pada tahun 2015, hanya mendaftar empat negara dengan penegakan hukum anti suap asing yang aktif yaitu Jerman, Swiss, Inggris, dan AS. [my]