Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah kembali akan melakukan pelonggaran kebijakan pengetatan di masa pandemi COVID-19, yakni dengan melakukan uji coba peniadaan karantina bagi PPLN di Bali mulai 14 Maret mendatang.
“Pemerintah juga akan melakukan uji coba tanpa karantina bagi PPLN yang datang ke Bali dan direncanakan akan berlaku pada tanggal 14 Maret dengan beberapa persyaratan,” ungkap Luhut, dalam Telekonferensi Pers usai Ratas PPKM, di Jakarta, Minggu (27/2).
“Bisa saja 14 Maret ini kita percepat, kalau data-data nanti selama minggu depan angkanya itu membaik, karena di Bali kelihatannya selama beberapa minggu terakhir angkanya terus membaik,” tambahnya.
Adapun persyaratan bagi WNI maupun WNA yang bisa masuk ke Bali tanpa karantina adalah PPLN yang dapat menunjukkan bukti pembayaran pemesanan hotel minimal empat hari, atau menunjukkan bukti domisili di Bali bagi WNI. Selain itu, katanya, PPLN juga harus sudah divaksinasi lengkap atau mendapatkan booster. Selanjutnya, PPLN juga wajib melakukan entry test PCR di hotel dan menunggu hingga hasilnya ke luar.
“Setelah (hasil tes PCR) negatif, PPLN dapat bebas beraktivitas dengan prokes tetap diterapkan. PPLN kembali melakukan PCR test di hari ketiga di hotel masing-masing. Ini sebenarnya untuk keamanan kita bersama,” tuturnya.
Namun, sebelum itu, pemerintah akan mengurangi masa karantina PPLN menjadi tiga hari dari sebelumnya lima hari bagi PPLN yang sudah divaksinasi lengkap dan menerima booster mulai 1 Maret 2022
Adapun alasan pemerintah memilih Bali sebagai wilayah yang menerapkan kebijakan peniadaan karantina bagi PPLN adalah tingkat vaksinasi dua dosis bagi kalangan umum yang lebih tinggi dibandingkan provinsi lain. Ia menekankan, jika uji coba di Bali ini berjalan dengan baik, maka pemerintah akan memperluas kebijakan tanpa karantina bagi PPLN di seluruh Indonesia mulai 1 April atau bahkan bisa lebih cepat.
Akselerasi Vaksinasi
Seiring dengan persiapan peniadaan kebijakan tanpa karantina bagi PPLN, pemerintah pun akan menggenjot vaksinasi COVID-19. Bahkan, dalam penentuan level PPKM di daerah, pemerintah mulai pekan depan akan memberlakukan syarat cakupan vaksinasi dosis lengkap sebagai penentu level assessment tiap daerah.
Maka dari itu, kata Luhut, dalam beberapa waktu ke depan akan banyak kabupaten/kota yang masuk ke level 3 dan 4 PPKM karena dosis kedua vaksinasi COVID-19 belum mencapai target yang sudah ditentukan.
“Level vaksinasi dosis kedua untuk menentukan assetment level mingguan tiap daerah telah berhasil mendorong percepatan vaksinasi dosis kedua, umum dan lansia di Jawa. Dari sebelumnya 21 kabupaten/kota yang tidak memenuhi syarat dosis vaksinasi kedua umum, menjadi hanya tersisa tujuh kabupaten/kota. Selain itu, untuk dosis lansia kedua dari sebelumnya 26 kabupaten/kota menjadi 10 kabupaten/kota. Jadi semuanya mengalami kemajuan,” jelasnya.
“Pemerintah ke depan akan terus mengkaji menerapkan kebijakan yang dapat mendorong tingkat vaksinasi level tertinggi agar semua pra kondisi endemi dan tingkat kekebalan masyarakat yang tinggi dapat segera tercapai,” tambah Luhut.
Tren Penurunan Kasus
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan berdasarkan pengamatannya pada pekan lalu, tren kasus harian COVID-19 secara nasional sudah mulai melandai. Penurunan kasus dan positivity rate terjadi di DKI Jakarta, Bali, Banten, Maluku, Papua, dan NTB selama tiga minggu berturut-turut.
“Ada juga beberapa provinsi yang sudah mencapai puncaknya. Jadi sudah mulai melandai dan sudah seminggu menurun, tapi kita masih menunggu konsistensi penurunannya dalam dua minggu ke depan, seperti daerah Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, kami lihat sudah mulai melandai dan segera akan menurun,” ungkap Budi.
Meski begitu, peningkatan kasus harian masih terjadi di beberapa wilayah, terutama di luar Jawa dan Bali seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, serta beberapa provinsi di Sulawesi.
“Tapi secara agregat karena provinsi besarnya seperti DKI Jakarta dan Banten sudah menurun, Jawa Barat, Jawa Timur sudah sampai di puncak dan Jawa Tengah juga sudah landai, saya rasa dalam seminggu, dua minggu ke depan secara nasional akan turun,” tuturnya.
Lebih jauh, Budi menjelaskan dari sisi tingkat keterisian tempat tidur bagi pasien COVID-19 atau bed occupancy ratio (BOR) juga sudah melandai. Selain itu, jumlah pasien yang meninggal juga jauh di bawah pada saat puncak delta. Dilaporkan, saat ini kematian harian mencapai 250 orang, jauh di bawah puncak delta yang bisa mencapai angka kematian sebanyak 2.000 orang per hari.
“Yang paling banyak meninggal adalah orang yang belum divaksinasi, atau belum mendapatkan vaksinasi lengkap, juga orang komorbid dan lansia. Itu menekankan bahwa vaksinasi lansia dan juga kelengkapan dosis vaksinasi itu merupakan prioritas untuk kita lakukan,” tambahnya.
Sampai saat ini, ungkap Budi, sebanyak 344 juta dosis vaksinasi COVID-19 telah disuntikan, di mana dosis pertama sudah mencapai 190 juta dosis atau 70 persen dari jumlah populasi di Indonesia. Budi berharap capaian 70 persen untuk dosis kedua bisa tercapai pada akhir April mendatang.
Timbulkan Masalah Baru
Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menyarankan kepada pemerintah untuk tidak tergesa-gesa dalam menerapkan berbagai pelonggaran seperti peniadaan karantina bagi PPLN. Jika kebijakan tersebut ingin diterapkan, maka sebaiknya cakupan vaksinasi dosis kedua harus sudah di atas 80 persen, dan vaksinasi booster bagi lansia minimal sudah 50 persen.
“Itu kan belum terpenuhi, jadi jangan buru-buru, berbahaya. Pelongggaran ini berbahaya karena akan melahirkan masalah baru. Jadi jangan sampai karena ingin berharap lebih cepat, kita malah mendatangkan masalah,” katanya.
Menurut Dicky, karantina berfungsi untuk menyaring adanya potensi varian baru yang lebih merugikan, apalagi situasi global lagi tidak menentu dengan adanya perang.
Dengan modal imunitas masyarakat yang belum tercapai, ditambah dengan kemampuan pemerintah dalam mendeteksi berbagai varian atau surveillance genomics yang juga tidak memadai, maka pelonggaran benar-benar harus dilakukan secara bertahap. Ia mengingatkan potensi munculnya varian baru yang lebih mematikan cukup besar apabila semua pihak abai dalam pengendalian pandemi.
“Untuk diingat dampak dari satu varian itu bisa sangat mematikan kalau kita tidak memitigasinya, karena adanya potensi recombinant varian, adanya potensi varian yang lebih mematikan dari delta, omicron,” tegasnya. [gi/ah]