Ribuan orang yang mengungsi dari bagian timur kota Rafah di selatan Jalur Gaza ke daerah Muwasi yang relatif aman di utara mengalami kondisi yang keras dan kurangnya layanan bantuan.
Para pengungsi mengeluh karena tidak ada tenda untuk bernaung, serta kekurangan makanan, air minum dan layanan bantuan sehingga semakin menyulitkan hidup mereka setelah terpaksa meninggalkan rumah sesuai perintah militer Israel untuk mengungsi dari bagian timur Rafah, di sepanjang perbatasan dengan Mesir.
Nasser Balaawi, salah seorang pengungsi di Muwasi, mengatakan “tidak menemukan apapun untuk bertahan hidup” di kota itu. “Saya ada di jalan, tidak ada tempat untuk tinggal, tidak ada apapun. Saya hanya menggantungkan hidup pada pertolongan Allah SWT,” ujarnya lirih.
Hal senada disampaikan Ahmad Balaawi. “Kami mendirikan tenda untuk hampir 70 orang. Mereka (Israel.red) mengancam kami dan menjatuhkan selebaran agar kami keluar dari Rafah. Yang kami inginkan hanyalah tempat berlindung dan sarana hidup, di sini tidak ada toilet, atau air, atau apapun. Kami hanya ingin berlindung,” ujarnya.
Warga di bagian timur Rafah terpaksa mengungsi ke bagian utara saat pasukan Israel menguasai jalur penyeberangan perbatasan Rafah yang vital di Gaza pada hari Selasa (7/5), dalam apa yang digambarkan Gedung Putih sebagai operasi terbatas. Meskipun demikian kekhawatiran meningkat bahwa Israel akan melakukan invasi berskala penuh ke kota di bagian selatan Gaza itu seiring belum tercapainya kesepakatan dengan Hamas mengenai gencatan senjata dan pembebasan sandera.
PBB memperingatkan potensi terhentinya aliran bantuan bagi warga Palestina akibat penutupan perbatasan Rafah dan Kerem Shalom –penyeberangan utama lainnya menuju Gaza. Para pejabat PBB memperingatkan bahwa Gaza Utara akan mengalami “bencana kelaparan.”
Serangan Israel Selasa malam terjadi selama berjam-jam, menjadi bagian dari pertempuran sengit dalam perang Israel-Hamas yang telah berlangsung selama tujuh bulan. Beberapa jam sebelum serangan itu Hamas mengatakan menerima proposal gencatan senjata, yang menurut Israel tidak sesuai dengan tuntutan inti mereka.
Pergerakan diplomatik berisiko tinggi dan sikap keras militer menyisakan secercah harapan– meskipun sedikit sekali – untuk mencapai kesepakatan yang dapat membawa setidaknya jeda dalam perang yang menurut pejabat Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza telah menewaskan lebih dari 34.700 orang Palestina.
Dengan merebut penyeberangan Rafah, Israel mendapatkan kontrol penuh atas keluar masuknya orang dan barang untuk pertama kalinya sejak menarik tentara dan pemukim dari Gaza pada tahun 2005, meskipun telah sejak lama mempertahankan blokade di daerah kantung pantai tersebut lewat kerja sama dengan Mesir.
Biden pada Senin lalu (6/5) kembali memperingatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu agar tidak melancarkan invasi ke Rafah setelah Israel memerintahkan 100.000 warga Palestina untuk mengungsi dari beberapa bagian Rafah. Namun mitra koalisi sayap kanan Netanyahu telah mengancam akan menjatuhkan pemerintahannya jika dia membatalkan serangan atau membuat terlalu banyak konsesi dalam perundingan gencatan senjata.
Menurut catatan rumah sakit di Rafah, serangan dan pengeboman Israel di Rafah semalam menewaskan sedikitnya 23 warga Palestina, termasuk sedikitnya enam perempuan dan lima anak-anak. [em/uh]
Forum