JAKARTA —
Dalam peringatan Hari Buruh Sedunia, Rabu (1/5), kalangan pengusaha mengeluhkan sikap pemerintah yang tidak tegas dalam upaya menyelesaikan sengketa industrial antara pengusaha dengan buruh.
Direktur Forum Investor Bekasi Munawar Fuad mengatakan dunia usaha di Indonesia merasakan beban berat akibat dari ketidaktegasan pemerintah, yang bahkan terkesan reaktif dalam menyikapi tuntutan para buruh.
“Selain lambat, tidak tuntas dan terlalu reaktif serta hanya seremonial. Karena itu risiko yang dihadapi oleh dunia usaha betul-betul banyak sekali. Peran dari Kementerian Tenaga Kerja (kurang) dalam melakukan komunikasi, advokasi, regulasi terhadap masalah ketenagakerjaan, (sehingga) menjadi beban yang membuat suasana kerja buruh tidak nyaman dengan status outsourcing, misalnya,” ujar Munawar.
Ia menambahkan beban dari pengusaha semakin bertambah khususnya kalangan investor di daerah yang bukan berhadapan dengan tuntutan buruh, tapi juga praktik pungutan liar dan korupsi pejabat.
Dalam beberapa tahun terakhir, menurut Munawar, beberapa kalangan pengusaha di daerah memilih keluar dari lokasi usahanya karena tidak tahan dengan tekanan yang dihadapi. Beberapa diantaranya berpindah lokasi ke daerah lain, tapi ada pula yang memilih keluar dari Indonesia, ujarnya.
“Dua tahun terakhir yaitu 2011 ke 2012 ada rangkaian aksi buruh yang terbesar sejak reformasi, kemudian lanjut 2012 ke 2013, itu dirasakan dampaknya. Aksi buruh itu diwarnai dengan sweeping, boikot terhadap produksi, dan ada penyanderaan pekerja oleh serikat pekerja. Ini yang kemudian membuat mereka memilih relokasi usaha ke berbagai tempat. Ada pula yang sampai bangkrut dari usahanya. Ada pula yang hengkang ke beberapa negara. Sebagian ke China, lalu Vietnam, Filipina, Thailand dan Malaysia.
Pada akhir 2012 lalu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat ada enam perusahaan yang menutup pabriknya akibat razia yang diduga dilakukan oleh Serikat Pekerja dan tidak mampu memenuhi keinginan buruh. Data Apindo juga menyebutkan ada 23 asosiasi pengusaha di bawah Apindo juga sempat mengancam untuk atau mogok nasional. Akibat tutupnya keenam pabrik tersebut, Apindo memperkirakan potensi kerugian yang diderita bisa mencapai US$100 juta.
Ketua Apindo Anton J. Supit mengatakan kalangan pengusaha pada dasarnya siap memenuhi keinginan kalangan buruh untuk peningkatan upah minimum misalnya.
“Saya pribadi setuju sekali upah buruh Indonesia di suatu hari nanti bukan hanya Rp 2 juta atau Rp 3 juta, Rp 10 juta bahkan Rp 20 juta pun kita akan senang karena itu berarti (meningkatnya) daya beli yang pada akhirnya bisa membeli produk kita. Tapi yang kita persoalkan sekarang daya dukung ekonomi kita apakah siap untuk itu?” ujarnya.
Terkait tuntutan buruh termasuk penyelesaian hubungan industrial pengusaha dengan buruh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan pimpinan konfederasi serikat buruh di Istana Negara Jakarta, Selasa (30/4), sebelum peringatan Hari Buruh Sedunia berharap jika ada masalah yang muncul antara buruh dengan pengusaha, dapat diselesaikan melalui jalan perundingan dengan difasilitasi oleh pemerintah.
“Di satu sisi, tentu peningkatan upah buruh disesuaikan dengan kemampuan yang ada. Oleh karena itu supaya industri tidak jalan di tempat apalagi sampai bangkrut dan berdampak buat buruh, maka semua harus berkontribusi, para buruh juga menjaga produktivitasnya," ujarnya.
"Jika sesuatu terjadi, jika ada masalah, mari kita selesaikan dengan baik. Negosiasi, perundingan itu wajar terjadi di negara manapun. Oleh karena itu, pemerintah membuka ruang memberikan fasilitasi. Kalau ada apa-apa duduk bersama sampai ketemu, cari solusi yang terbaik buat semua."
Direktur Forum Investor Bekasi Munawar Fuad mengatakan dunia usaha di Indonesia merasakan beban berat akibat dari ketidaktegasan pemerintah, yang bahkan terkesan reaktif dalam menyikapi tuntutan para buruh.
“Selain lambat, tidak tuntas dan terlalu reaktif serta hanya seremonial. Karena itu risiko yang dihadapi oleh dunia usaha betul-betul banyak sekali. Peran dari Kementerian Tenaga Kerja (kurang) dalam melakukan komunikasi, advokasi, regulasi terhadap masalah ketenagakerjaan, (sehingga) menjadi beban yang membuat suasana kerja buruh tidak nyaman dengan status outsourcing, misalnya,” ujar Munawar.
Ia menambahkan beban dari pengusaha semakin bertambah khususnya kalangan investor di daerah yang bukan berhadapan dengan tuntutan buruh, tapi juga praktik pungutan liar dan korupsi pejabat.
Dalam beberapa tahun terakhir, menurut Munawar, beberapa kalangan pengusaha di daerah memilih keluar dari lokasi usahanya karena tidak tahan dengan tekanan yang dihadapi. Beberapa diantaranya berpindah lokasi ke daerah lain, tapi ada pula yang memilih keluar dari Indonesia, ujarnya.
“Dua tahun terakhir yaitu 2011 ke 2012 ada rangkaian aksi buruh yang terbesar sejak reformasi, kemudian lanjut 2012 ke 2013, itu dirasakan dampaknya. Aksi buruh itu diwarnai dengan sweeping, boikot terhadap produksi, dan ada penyanderaan pekerja oleh serikat pekerja. Ini yang kemudian membuat mereka memilih relokasi usaha ke berbagai tempat. Ada pula yang sampai bangkrut dari usahanya. Ada pula yang hengkang ke beberapa negara. Sebagian ke China, lalu Vietnam, Filipina, Thailand dan Malaysia.
Pada akhir 2012 lalu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat ada enam perusahaan yang menutup pabriknya akibat razia yang diduga dilakukan oleh Serikat Pekerja dan tidak mampu memenuhi keinginan buruh. Data Apindo juga menyebutkan ada 23 asosiasi pengusaha di bawah Apindo juga sempat mengancam untuk atau mogok nasional. Akibat tutupnya keenam pabrik tersebut, Apindo memperkirakan potensi kerugian yang diderita bisa mencapai US$100 juta.
Ketua Apindo Anton J. Supit mengatakan kalangan pengusaha pada dasarnya siap memenuhi keinginan kalangan buruh untuk peningkatan upah minimum misalnya.
“Saya pribadi setuju sekali upah buruh Indonesia di suatu hari nanti bukan hanya Rp 2 juta atau Rp 3 juta, Rp 10 juta bahkan Rp 20 juta pun kita akan senang karena itu berarti (meningkatnya) daya beli yang pada akhirnya bisa membeli produk kita. Tapi yang kita persoalkan sekarang daya dukung ekonomi kita apakah siap untuk itu?” ujarnya.
Terkait tuntutan buruh termasuk penyelesaian hubungan industrial pengusaha dengan buruh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan pimpinan konfederasi serikat buruh di Istana Negara Jakarta, Selasa (30/4), sebelum peringatan Hari Buruh Sedunia berharap jika ada masalah yang muncul antara buruh dengan pengusaha, dapat diselesaikan melalui jalan perundingan dengan difasilitasi oleh pemerintah.
“Di satu sisi, tentu peningkatan upah buruh disesuaikan dengan kemampuan yang ada. Oleh karena itu supaya industri tidak jalan di tempat apalagi sampai bangkrut dan berdampak buat buruh, maka semua harus berkontribusi, para buruh juga menjaga produktivitasnya," ujarnya.
"Jika sesuatu terjadi, jika ada masalah, mari kita selesaikan dengan baik. Negosiasi, perundingan itu wajar terjadi di negara manapun. Oleh karena itu, pemerintah membuka ruang memberikan fasilitasi. Kalau ada apa-apa duduk bersama sampai ketemu, cari solusi yang terbaik buat semua."