Wacana revisi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menjadi salah satu pokok bahasan rapat konsultasi Presiden dengan para pimpinan lembaga negara yaitu MPR, DPR, DPD, MA, MK, KY Dan BPK, di Istana Negara Jakarta Kamis (19/1).
Presiden Joko Widodo dalam penjelasannya para pimpinan lembaga negara dalam hal ini DPR untuk bersama membahas perlu tidaknya revisi atas dua produk perundangan itu untuk memaksimalkan upaya pemberantasan terorisme.
"Saya ingin menawarkan, mengajak, kembali kita untuk mengkaji penguatan instrument pencegahan pidana terorisme dengan melihat lagi payung hukum dalam undang-undang no 15 tahun 2003 dan undang-undang no 9 tahun 2013 apakah cukup memadai dalam melakukan pencegahan aksi terorisme ataukah perlu direvisi," jelas Presiden Jokowi.
Usai pertemuan, Presiden memastikan ada komitmen bersama dari semua lembaga negara untuk melakukan penguatan produk perundangan dalam pemberantasan terorisme.
"Kita semuanya berkomitmen untuk mencari penyelesaian dalam waktu yang secepat-cepatnya. Ini tadi baru pembicaraan awal. Ini semuanya di lembaga negara nanti akan ada proses, pada saat kita bertemu lagi nanti tentu sudah bisa kita putuskan," lanjutnya.
Ketua MPR Zulkifli Hasan memastikan ada kesepahaman bersama antara Presiden, MPR, DPR dan DPD untuk memaksimalkan produk perundangan dalam pemberantasan terorisme. Di antaranya yang akan menjadi penyempurnaan adalah soal upaya pencegahan terorisme, sehingga kepolisian bisa menindak seseorang atau kelompok sebelum terjadinya aksi terorisme.
"Karena itu penting mengenai revisi undang-undang terorisme, mengenai pencegahan. Latihan untuk teror itu tidak ada pasalnya. Ini polisi minta (butuh). Kemudian orang Indonesia pergi ke luar negeri, ini tidak ada dasar hukumnya untuk di tindak. Misalnya ada yang (gabung ISIS) ke Suriah. Nah itu perlu dilengkapi. Kemudian peran serta aparatur dan masyarakat daerah. Kemudian perluasan perencanaan. Orang rundingan mau nge-bom dan sebagainya. Kemudian hukum acara pidana, ancamannya 'gak bisa ditambah," jelas Zulkifli Hasan.
Zulkifli menambahkan, nantinya, jika revisi undang-undang dianggap terlalu lama, Presiden dapat mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Senada dengan Zulkifli Hasan, Ketua DPR Ade Komaruddin menjelaskan, dari hasil rapat pimpinan fraksi dicapai kesepakatan untuk melakukan revisi Undang-UndangNo.15 Tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. DPR juga mempersilahkan Pemerintah untuk mengajukan Perppu terkait pencegahan dan pemberantasan terorisme.
"Kami setuju untuk dilakukan revisi. Cuma kami juga memberikan pandangan bahwa revisi itu memerlukan waktu. Karena memang prosedur tahapan-tahapannya harus dilalui. Dan tentu inisiatif dari Pemerintah seputar beberapa pasal yang direvisi. Tetapi kami menyarankan, jika itu perlu waktu dan sementara kita ada kegentingan memaksa ya ga pa pa, Pemerintah bisa mengeluarkan Perppu," kata Ketua DPR Ade Komaruddin.
Sebelumnya Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, kepolisian selama ini tidak bisa melakukan penindakan terhadap seseorang atau kelompok masyarakat yang bergabung dengan kelompok militan radikal seperti kelompok Negara Islam Irak Suriah (ISIS), karena belum melakukan tindakan pidana. Tindakan atau pencegahan aksi teroris sejak dini ini yang menurut Kapolri tidak diatur dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. [aw/ab]