Ahli epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan uji antibodi yang dilakukan untuk melihat apakah seseorang mempunyai ketahanan terhadap virus corona hingga saat ini masih terus diperdebatkan.
Diwawancarai VOA, ia mengatakan belum melihat apakah cara tersebut efektif untuk melawan virus ini. Menurutnya, meskipun masih panjang perjalanan, vaksin masih merupakan satu-satunya jalan untuk menangkal virus ini.
Dijelaskannya, uji antibodi pada dasarnya sama dengan pemeriksaan cepat atau rapid test yang dilakukan oleh pemerintah guna megetahui sebaran kasus positif virus corona. Meskipun diketahui bersama bahwa rapid test sebenarnya juga tidak cukup efektif untuk mengetahui apakah seseorang benar-benar terjangkit atau tidak, karena masih harus dilakukan pemeriksaan kedua.
“Kalau untuk mencegah penularan, tidak bermanfaat banyak. Kalau untuk mengukur antibodi, mungkin masih bisa. Apakah seseorang itu mempunyai antibodi atau tidak. Efektif untuk apa? Tapi kan kalau orang yang gak kebal mau diapain? Kan tidak terinfeksi. Gak boleh kerja? Gak boleh keluar?,” kata Pandu di Jakarta, Minggu (3/5).
Sebenarnya, kata Pandu, uji antibodi ini menyeruak ketika sebuah negara ingin membuat sebuah semacam daftar orang yang memiliki kekekebalan terhadap virus corona ini. Ketika lockdown berakhir, hanya mereka yang dinilai kebal terhadap virus ini yang diperbolehkan untuk bekerja dan beraktifitas seperti biasa.
“Kita belum punya metode. Jadi mereka mau bikin immunity passport. Jadi yang diizinkan untuk bekerja pada adalah untuk orang-orang yang sudah punya imunitas. Supaya tidak menularkan, dan itu bertahap," jelasnya.
Namun, kata Pandu, manfaat dan efektivitas dari paspor kekebalan itu masih diperdebatkan. Terutama mengenai apakah hal itu cukup sensitif.
Menurutnya, Indonesia bisa saja melakukan uji antibodi sesudah masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berakhir. Namun, Pandu mengingatkan uji antibodi itu tidak murah.
“Mungkin kita tidak usah sampai situ, dilakukan serulogy (studi ilmiah atau pemeriksaan diagnostik serum darah untuk melihat sistem kekebalan tubuh.red). Itu masih diperdebatkan. Kan mahal juga. Siapa yang mau bayar? Ini juga banyak dikomersilkan,” imbuhnya.
Ia juga memprediksi, bahwa permasalahan pandemi ini masih jauh dari kata selesai. Pemerintah, menurutnya, jangan terlalu senang kalau ada penurunan kasus. Apalagi evaluasi data baru untuk DKI Jakarta yang menunjukan terjadi peningkatan proporsi penduduk yang tinggal di rumah.
Karena berbagai kemungkinan masih bisa terjadi selama masih belum ditemukan vaksin untuk virus ini.
“Penularan sudah mulai melandai untuk DKI. Cenderung menurun. Tapi kita gak tahu. Orang kan suka euforia, terus nanti gak mau tinggal di rumah lagi, jangan cepat senang dulu," ujarnya.
Dia memperkirakan virus corona masih akan menjadi masalah hingga tahun depan.
Ventilator Buatan Dalam Negeri
Dalam perkembangan lainnya Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) / Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro akhir pekan lalu mengatakan sedang melakukan uji ketahanan atas ventilator khusus karya anak bangsa sebagai uji coba tahap akhir sebelum dapat digunakan untuk penanganan Covid-19.
"(Saat ini) di BPFK (Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan) Kemenkes, sebagian masih melakukan uji endurance,” kata Bambang.
Lanjutnya, setelah melalui uji ketahanan, ventilator tersebut akan diuji secara klinis dalam kurun waktu sepekan.
"Sehingga diharapkan pertengahan Mei ini kita sudah bisa melihat ventilator produksi Indonesia yang diproduksi oleh mitra industri," imbuhnya.
Untuk memproduksi ventilator tersebut, Kemenristek, kata Bambang, akan bekerja sama dengan beberapa konsorsium BUMN dan juga pihak swasta. Ditambakannya, empat prototip ventilator yang saat ini sudah melalui proses pengujian BPFK dan sedang diuji secara klinis adalah prototype yang berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta dari salah satu perusahaan swasta PT. Dharma.
Ia berharap produksi ventilator tersebut ke depan bisa memenuhi kebutuhan dalam penanganan Covid-19. Setidaknya, dibutuhkan sekitar 1.000 ventilator jenis continuous positive airway pressure (CPAP) dan sekitar 668 ventilator jenis Ambu Bag.
"Nah, yang jenis Ambu Bag yang dibuat BPPT misalkan, itu bisa juga dipakai untuk ruang instalasi gawat darurat (IGD) atau ruang emergency. Jadi sangat membantu pasien yang kebetulan sedang berada dalam kondisi emergency," jelasnya.
Sementara itu, sebagian dari ventilator lainnya, dapat digunakan untuk pasien yang berada di ruang operasi, sehingga penanganan pasien Covid-19 diharapkan dapat semakin optimal.
"Ke depan kita akan mengembangkan juga ventilator yang nantinya bisa dipakai di intensive care unit (ICU) yang tentunya butuh waktu beberapa bulan untuk kami mengembangkan sehingga insya Allah satu saat kita akan bisa memproduksi ventilator untuk ICU yang dibuat di Indonesia," paparnya. [gi/em]