Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan dalam survei yang dilaksanakan 25 hingga 31 Agustus 2022, sebanyak 71,8 persen warga tahu tentang rencana kenaikan harga BBM dan 78,7 persen warga kurang atau tidak setuju dengan kenaikan harga BBM.
“Paling tidak berdasarkan sikap responden ketika pemerintah baru berencana itu penolakannya hampir 80 persen, 78,7 persen,” kata Burhanudin Muhtadi dalam Rilis Survei Nasional “Sikap Publik Terhadap Pengurangan Subsidi BBM”, Rabu (7/9).
Survei itu melibatkan 1.219 responden di 34 provinsi di Indonesia. Tingkat kesalahan (margin of error survey) diperkirakan sebesar 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Survei itu dilakukan sebelum pemerintah secara resmi mengumumkan pengurangan subsidi BBM.
Hasil survei itu di antaranya mengungkapkan, penolakan kenaikan BBM lebih tinggi di wilayah pedesaan (82,1 persen) dibanding wilayah perkotaan (75,4 persen). Dari sisi pendapatan, penolakan kenaikan BBM datang dari mereka yang berpenghasilan di atas Rp4 juta (54,2 persen) dan warga yang berpenghasilan di bawah satu Rp1 juta per bulan (69,1 persen). Dari sisi jenis pekerjaan, penolakan kenaikan BBM umumnya berasal dari kalangan pegawai negeri/swasta (82 persen) dan kelompok petani, peternak dan nelayan (67,3 persen).
“Mungkin kita punya tafsir ya karena mereka yang kelompok pendapatan menengah ke atas kan mungkin banyak juga yang menggunakan BBM bersubsidi jadi lebih menolak ketimbang kelas menengah bawah yang mungkin tidak lebih banyak menggunakan Pertalite misalnya,” kata Burhanuddin.
Survei itu mengungkapkan sebanyak 41 persen responden tidak percaya bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran, dan itu menjadi alasan dari besarnya penolakan masyarakat terhadap rencana kenaikan BBM saat itu.
Perlu Konsistensi Pemerintah
Ketua Umum Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Philips J. Vermonte, mengatakan kebijakan pengurangan subsidi BBM telah terjadi di rezim-rezim pemerintahan sebelumnya. Namun setelah dikurangi, subsidi BBM ditambah kembali. Ia menegaskan, konsistensi pemerintah terhadap kebijakan pengurangan subsidi sangat dibutuhkan.
“Akibatnya ketika ketika ada kebutuhan menciptakan ruang fiskal dia akan menjadi persoalan yang sangat kontroversial dan kemudian urusannya menjadi soal politik, soal sosial dan lain-lain,” kata Philips.
Selisih Harga Pertamax Non-Subsidi dan Pertalite Masih Lebar
Pengamat ekonomi, Bhima Yudhistira, menilai kenaikan harga BBM jenis Pertamax non-subsidi yang bersamaan dengan kenaikan BBM jenis Pertalite tidak sejalan dengan upaya pembatasan BBM bersubsidi.
“Kenapa? Karena yang sebelumnya disuruh tidak mengkonsumsi Pertalite untuk bergeser ke Pertamax, kalau selisih harga Pertamax dan Pertalitenya cukup lebar sekitar 4.500 sekarang ini maka orang akan tetap migrasi ke Pertalite dan pembatasan juga sampai sekarang tidak dilakukan,” kata Bhima..
Pemerintah, menurut Bhima, dapat mencegah kenaikan harga BBM bersubsidi bila dapat menutup kebocoran BBM Solar bersubsidi yang mencapai 70 persen ke Industri, perkebunan dan pertambangan berskala besar. Sektor pertambangan batubara misalnya sudah menikmati keuntungan dari kenaikan harga komoditas dan royalti nol persen untuk hilirisasi batu bara.
“Harusnya royaltinya dinaikkan, pajak untuk bea keluar juga dinaikkan sehingga itu bisa menjadi pemasukan negara mengompensasi agar subsidi ini tetap terjaga. Nah windfall (keuntungan) kedua yang dinikmati pelaku usaha ini selama bertahun-tahun adalah menikmati solar bersubsidi, jadi ini yang seharusnya ditutup dulu baru bicara mekanisme harga,” jelas Bhima Yudhistira.
Dikatakannya kenaikan BBM tidak hanya semata menyangkut transportasi manusia tapi juga transportasi pangan. Kenaikan BBM akan semakin melemahkan daya beli masyarakat yang sebelumnya sudah terpukul oleh pandemi COVID-19 dan kenaikan harga pangan. [yl/ab]
Forum