Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti khawatir DPR tidak akan serius mengkaji ratifikasi dan perundingan perjanjian perdagangan bebas (FTA) menjelang pemilu 2019. Sebab, saat ini para anggota dewan sedang sibuk kampanye di daerah pemilihan masing-masing menjelang pemilu 2019. Padahal, kata dia, perjanjian tersebut memiliki dampak yang luas terhadap nasib jutaan rakyat Indonesia.
Rachmi menyebut telah mengirimkan surat kepada Ketua DPR dan Ketua Komisi VI DPR terkait desakan penundaan pembahasan perjanjian regional ini.
"Kami juga mendesak bahwa proses perundingan atau pembahasan perjanjian perdagangan yang tidak demokratis agar segera dibuka kepada publik. Karena selama ini tidak ada transparansi dan tidak ada partisipasi publik untuk memberikan pandangan kritis kami terhadap isi perjanjian tersebut," jelas Rachmi Hertanti di Jakarta, Kamis (14/3/2019).
Dua perjanjian perdagangan yang baru dirampungkan pemerintah yaitu Indonesia-Australia CEPA pada 4 Maret 2019 dan Indonesia-Europe FTA atau EFTA pada 16 Desember 2018. Sedangkan yang akan dirampungkan yaitu perundingan Regional Comprehensive Economic Agreement (RCEP) antara ASEAN dengan 6 negara mitra ekonominya.
"DPR janganlah sekedar menjadi lembaga negara yang hanya sekedar memberi stempel. Tapi tidak memiliki perhitungan yang presisi terhadap dampak perjanjian perdagangan investasi Internasional," imbuhnya.
Free Trade Area Bukan Solusi Lemahnya Kinerja Ekspor
Sementara itu, Peneneliti dari koalisi Lutfiyah Hanim menjelaskan pemikiran pemerintah yang berpandangan banyaknya perjanjian perdagangan bebas akan meningkatkan kinerja ekspor Indonesia adalah keliru. Sebab, kata dia, semakin banyak perjanjian yang ditandatangani maka semakin besar pula potensi terbukanya pintu impor Indonesia.
"FTA (Perjanjian Perdagangan Bebas) ini bukan solusi dari turunnya ekspor atau turunnya investasi. Karena kita sudah punya banyak sekali sampai 60 perjanjian investasi bilateral yang sudah ditandatangani. Memang ada beberapa yang dihentikan, tetapi pemerintah juga meratifikasi perjanjian FTA yang di antaranya adalah investasi juga. Dan selama ini tidak ada bukti bahwa perjanjian-perjanjian itu bisa meningkatkan investasi," jelas Lutfiyah.
Lutfiyah menambahkan perjanjian perdagangan juga mengatur aturan hukum untuk pelaksanaan perjanjian, termasuk boleh tidaknya negara dalam membuat regulasi domestik. Karena itu, ia mengingatkan pemerintah Indonesia dan DPR untuk tidak terburu-buru dalam meratifikasi perjanjian perdagangan agar tidak merugi.
Menanggapi desakan ini, Wakil Ketua Komisi VI DPR, Azam Azman Natawijana mengatakan setuju dengan penundaan pembahasan ratifikasi dan perjanjian perdagangan bebas yang diusulkan koalisi masyarakat sipil. Menurutnya, usulan tersebut akan segera disampaikan ke anggota komisi VI untuk dibahas.
"Setuju-setuju kita, yang penting bahwa jangan sampai kalau itu disetujui oleh DPR tanpa evaluasi yang mendalam dan merugikan Republik Indonesia. Itu yang paling pokok, jangan sampai perjanjian itu, Indonesia dalam posisi yang rugi," jelas Azam saat dihubungi VOA, Jumat (15/3/2019).
Azam mengatakan parlemen juga akan terbuka pada masyarakat terkait isi perjanjian perdagangan bebas. Sehingga masyarakat dapat memberikan masukan yang positif kepada pemerintah dan DPR dalam menyusun perjanjian. [sm/as]