Suara tawa dan nyanyian sesekali meredam suara deru mobil-mobil yang melintas di bawah jalan layang di kawasan Ciputat. Keceriaan itu datang dari sebuah perpustakaan terbuka yang didirikan di tempat tak lazim: di bawah jalan layang yang dipenuhi asap knalpot kendaraan mencekik leher dan ancaman preman-preman.
Di taman bacaan terbuka yang terletak di antara dua jalur lalu lintas di kawasan Ciputat di pinggiran Jakarta itu, aturan “harap tenang” tidak berlaku.
Terlepas dari lokasinya yang tak biasa, Taman Baca Masyarakat Kolong cukup sukses. Minimnya perpustakaan umum menjadikan TBM Kolong satu dari sedikit tempat di mana anak-anak dari kawasan itu bisa membaca berbagai bacaan di luar jam sekolah.
“Kami ingin mendekatkan buku kepada masyarakat,” kata koordinator perpustakaan Devina Febrianti kepada kantor berita AFP, di tengah bunyi klakson mobil dan bau asap knalpot.
Beberapa tahun yang lalu, jalan layang di pinggiran Ciputat dipenuhi oleh sampah dan banyak para preman yang berkeliaran, kata Febrianti.
Berbekal buku dan cat, organisasi lokal di wilayah itu mulai mengubah reputasi buruk kawasan tersebut.
Para seniman melukis mural di dinding-dinding, memasang pot-pot tanaman dan membuat area permainan futsal, kemudian perpustakaan dengan beberapa lukis buku pun mulai dibangun di tempat tersebut.
Namun, fasilitas itu kurang mendapat sambutan saat dibuka pada 2016.
“Awalnya tidak semua orang mendukung ketika kami datang dengan buku karena sudah ada penghuni lain di sini,” kata Febrianti.
“Kami meminta maaf terlebih dahulu kepada para preman dan pengemudi angkot yang ada disini,” kata Febrianti menambahkan.
Memenangkan perasaan para orang tua yang takut jika anaknya mungkin akan diculik atau ditabrak kendaraan bukan suatu hal yang muda juga.
Bau, Sampah, dan Bising
Namun akhirnya, orang tua – dan bahkan para preman jalanan – menyambut baik gagasan itu.
Kini, sudah biasa terlihat 70 anak berkumpul untuk belajar setelah selesai sekolah. Di perpustakaan itu, mereka membaca cerita dengan guru-guru, mendapat bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau menyanyi dan menari di atas beton yang ditutupi dengan lapisan rumput sintetis berwarna hijau.
Rak-rak buku diisi dengan buku anak-anak dan beberapa lainnya, seperti buku akuntansi atau daftar istilah pemasaran.
Emilia Clara, seorang siswa berusia 11 tahun mengatakan dia suka membaca cerita terutama dongeng bersama dengan teman-temannya.
“Saya senang dan membaca menjadi sangat menarik,” kata Emilia kepada AFP singkat, sebelum bergegas kembali untuk bergabung dengan anak-anak lain.
Dan perpustakaan itu juga berhasil mengambil hati para orang tua, seperti Salmih, seorang ibu dengan dua anak berusia 41 tahun.
“Ini tempat yang bagus untuk belajar, menciptakan kreasi dan bermain,” kata Salmih.
Taman baca gratis yang dikenal sebagai Taman Bacaan, telah ada dalam berbagai bentuk di seluruh daerah Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
Taman bacaan biasanya dikelola oleh LSM atau kelompok relawan yang didanai oleh kontribusi sektor publik dan swasta.
Sekitar 80 taman baca telah dibangun di kawasan ibu kota, meskipun hanya ada satu yang terletak tepat di bawah jembatan layang, kata Febrianti.
Menurut laporan koran South China Morning tahun lalu, Hong Kong telah membangun perpustakaan kecil luar ruangan yang berfungsi juga sebagai taman bermain anak-anak di bawah jembatan layang di kota itu. Perpustakaan itu adalah bagian dari penelitian tentang cara memanfaatkan ruang publik dengan lebih baik.
Kembali ke Indonesia, para relawan taman bacaan mengakui bahwa lokasi mereka yang berada di seberang jalanan berpotensi menimbulkan beberapa masalah kesehatan karena asap dari lalu lintas dan dampak selanjutnya pada kualitas udara.
“Tapi sejauh ini belum ada keluhan tentang bau, sampah atau suara keras yang ada di sekitar taman bacaan ini,” kata Febrianti. “Kami menggunakan sound system yang sangat membantu kami untuk mengatasi masalah kebisingan ini.” [er/ft]