Tingkat kebebasan pers Indonesia belum mengalami kemajuan, demikian menurut data terbaru yang dikeluarkan organisasi Freedom House. Indonesia menempati posisi ke-108 tahun 2010, turun sedikit dari posisi 107 setahun sebelumnya. Ini berarti pers di Indonesia belum bebas sepenuhnya, demikian kesimpulan dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Newseum Washington, DC, Senin (2/5).
Para pengunjung museum berita Newseum di Washington DC menyaksikan bahwa dunia telah berubah. Perubahan itu terlihat pada peta kebebasan pers dunia selebar hampir sebelas meter yang dipasang di salah satu galeri tersebut. Peta itu menunjukkan tingkat kebebasan pers - baik media cetak, elektronik maupun internet di hampir 200 negara di dunia.
Negara yang persnya dinyatakan bebas, ditandai dengan warna hijau di peta. Negara yang persnya tidak bebas, diberi warna merah. Dan jika persnya bebas sebagian, negara itu ditandai dengan warna kuning, seperti Indonesia.
Meskipun Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, hal itu tidak tercermin pada kebebasan persnya. Menurut Freedom House, organisasi yang memantau kebebasan aliran berita dan informasi, hal itu tidak mengejutkan.
Karin Deutsch Karlekar, Periset Senior dan Managing Editor, Freedom House menjelaskan, “Kita melihat hal itu di banyak negara dimana tingkat demokrasi lebih baik daripada kebebasan persnya. Karena dalam lingkungan yang lebih demokratis, pers memiliki ruang untuk lebih berekspresi, tapi dalam banyak kasus, pemerintah berupaya menekan pers.”
Menurut Karin, pers di Indonesia dinyatakan bebas sebagian, karena masih ditemukan sejumlah kemunduran.“Di Indonesia, beberapa perkembangan yang mengkhawatirkan adalah penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik terhadap wartawan dan penduduk, penggunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan beberapa pembunuhan terhadap wartawan tahun lalu, suatu peristiwa yang jarang terjadi,” ujar Karin.
Karin menambahkan setiap kasus pencemaran nama baik atau fitnah yang melibatkan wartawan seharusnya diselesaikan lewat Dewan Pers Nasional dan bukannya pengadilan.
Namun, Freedom House juga mencatat sisi positif yang terjadi dalam perkembangan pers di Indonesia, salah satunya adalah media penyiaran yang semakin terbuka.
Karin mengatakan, “Banyak stasiun TV atau radio baru bermunculan di Indonesia. Kami juga melihat semakin banyak penggunaan media sosial dan new media untuk menyebarkan berita dan informasi. Itu adalah tren jangka panjang yang cukup positif.”
Karin juga menyambut baik pernyataan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa awal tahun ini yang meminta kepada semua pihak agar menghormati kebebasan pers.
Berdasarkan data tersebut, tingkat kebebasan pers di Indonesia masih lebih baik dibanding beberapa negara lain di kawasan Asia Tenggara yang tidak bebas seperti Thailand, Singapura, Sri Lanka, Brunei Darussalam, Vietnam dan Malaysia.
Secara umum, Freedom House, mengatakan kawasan Asia Pasifik menunjukkan tingkat kebebasan pers yang cukup tinggi. Laporan itu menyebutkan dua pertiga negara dan wilayah di kawasan itu dinyatakan sebagai bebas atau bebas sebagian, sementara sisanya tidak bebas.
Laporan tersebut juga mengecam kemunduran kebebasan pers di Korea Selatan dan Thailand.
Sementara, utusan PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank La Rue mengatakan, “Korea Selatan diturunkan statusnya oleh Freedom House menjadi bebas sebagian karena internet dibatasi, blogger dikecam. Sementara di Thailand, siapapun yang membicarakan keluarga kerajaan di internet akan menghadapi dakwaan kriminal.”
Dari hampir 200 negara yang dipantau, Freedom House menyimpulkan bahwa 35 persen dinyatakan sebagai bebas, 33 persen bebas sebagian dan 32 persen tidak bebas.