Ratusan warga Aceh sejak pagi telah berkumpul di depan masjid Syuhada Lamgugop Syiah Kuala, Banda Aceh, untuk menyaksikan hukuman cambuk terhadap delapan orang, termasuk sepasang gay yang mendapat hukuman paling berat. MTA dan MHA adalah pasangan gay pertama yang dikenai hukuman cambuk di Aceh setelah tertangkap melakukan hubungan seksual Maret lalu. Setelah menjalani persidangan keduanya divonis 85 kali cambuk, yang kemudian dikurangi setelah menjalani hukuman penjara selama tiga bulan. Keduanya dihukum paling terakhir, dan sempat beberapa kali dihentikan karena tidak kuat menahan cambuk.
Diwawancarai VOA Selasa siang (23/5) Direktur Eksekutif “Institute for Criminal Justice Reform” Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan sejak tahun 2016 ada perkembangan yang signifikan dalam praktek hukuman cambuk di Aceh, baik dalam hal banyaknya jumlah orang yang dihukum maupun besarnya hukuman yang diberikan.
“Kita melihat ada perkembangan yang signifikan dalam praktek hukuman cambuk di Aceh tahun 2016, terutama setelah implementasi Qanun Jinayat tahun 2014. Ada sedikitnya 350 terpidana yang dicambuk dan ini menunjukkan peningkatan luar biasa terhadap orang-orang yang melanggar Qanun Jinayat. Kasus yang terjadi hari ini termasuk yang berat karena dikenai cambuk 83 kali. Yang meningkat kini bukan hanya jumlah orang yang dicambuk, tetapi juga jumlah hukuman cambuk yang dikenakan. Dulu hanya merupakan sanksi sosial untuk mempermalukan dan menimbulkan efek jera, kini untuk menyakiti bagi perbuatan melanggar susila,” ungkapnya.
Tidak Semua Warga Aceh Setuju Hukuman Cambuk
Meskipun ratusan warga memadati tempat pelaksanaan hukuman dan menyampaikan kalimat-kalimat kasar terhadap terhukum, sekaligus dukungan pada mereka yang disebut “polisi syariah”, tetapi tidak semua warga mendukung. Salah seorang warga Banda Aceh – Uzair – mengatakan pada VOA, kebanyakan warga sebenarnya skeptis dengan pemberlakuan Qanun Jinayat itu karena berlaku diskriminatif.
“Memang ini sudah menjadi perda, yang sudah diputuskan dan diproses di legislatif dan menjadi aturan yang berlaku di Aceh. Tapi banyak warga Aceh melihat aturan-aturan ini tidak konsisten karena hanya berlaku untuk kasus yang melanggar susila, perjudian atau minum-minuman keras. Tapi masalah di Aceh adalah korupsi yang membuat kesejahteraan di Aceh tidak bisa terwujud. Aceh adalah propinsi kedua setelah Bengkulu yang termiskin di Sumatera. Orang tidak melihat pemberlakuan hukum Islam ini membawa manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat. Jadi pemberlakuan yang tidak konsisten ini ditanggapi dengan skeptis. Apalagi dalam beberapa kasus aturan ini justru tidak diberlakukan terhadap pejabat. Ada beberapa kasus dimana kami menangkap basah pejabat sedang melakukan tindakan asusila, tetapi ia lolos dari hukuman. Walikota berkilah macam-macam. Jadi orang melihat ini tidak berlaku untuk semua orang. Walhasil orang memandangnya dengan sinis,” kata Uzair.
Takut Dituduh Kafir, Warga Tak Berani Protes Qanun Jinayat
Lalu mengapa warga tidak protes atau mengajukan keberatan pada otorita berwenang? Menurut Uzair hal ini sulit dilakukan karena ada stigma mengkhawatirkan yang dikenakan pada mereka.
“Masalahnya kita hidup di jaman dimana silent majority atau suara orang kebanyakan tertelan atau tidak cukup terdengar karena ada suara segelintir kelompok konservatif yang lantang terdengar. Jika kita menyuarakan sesuatu yang dianggap bertentangan dengan suara konservatif ini maka Anda akan dituduh kafir, dan ini bisa meluas. Bukannya orang tidak protes, tetapi begitu diprotes malah menjadi bumerang, tidak dilihat dari argumennya, tetapi langsung di-cap anti Islam,” tambahnya.
Amnesti Internasional Kecam Hukuman Cambuk di Aceh
Direktur Amnesti Internasional Untuk Asia Tenggara dan Pasifik Josef Benedict mengutuk hukuman itu dan menyebutnya sebagai pelanggaran mencolok terhadap hukum hak asasi internasional. Benedict menyerukan pada masyarakat dunia untuk menekan Indonesia supaya menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi komunitas LGBT sebelum situasinya memburuk, dan mengatakan tidak seorang pun seharusnya dihukum karena hubungan suka sama suka.
Direktur Eksekutif “Institute for Criminal Justice Reform” Supriyadi Widodo Eddyono mendukung seruan Amnesti Internasional itu, terlebih karena pemberlakuan hukuman cambuk menurutnya tidak menimbulkan dampak positif sama sekali sebagaimana diharapkan ketika aturan itu diberlakukan.
“Menurut kami Qanun sebenarnya gagal karena jumlah tindak pidana yang diberlakukan tetap tinggi, malah naik. Khususnya pada tindak kejahatan perjudian, minum-minuman keras dan berzina. Jadi kami anggap skema pidana Qanun Jinayat ini sebenarnya gagal,” katanya.
Aturan Islam yang Bertujuan Meningkatkan Kesejahteraan Malah Belum Terwujud
Sementara Uzair menyesalkan ketika hukum Islam yang dikenal dunia luar hanya soal cambuk dan hukuman-hukuman berat lain, padahal menurutnya hukum Islam juga mengandung upaya untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
“Jika pemerintah pusat serius, dalam UU Aceh ini ada kesempatan untuk mengganti pajak dengan zakat, ini ada dalam UU. Artinya pelaksanaan syariah Islam seharusnya tidak saja melulu soal hukuman dan sanksi, tetapi ada ruang yang belum dimanfaatkan soal peningkatan kesejahteraan, peningkatan ekonomi Islam yang lebih baik. Ada ruang perubahan itu yang belum disentuh. Pemerintah menafikan itu. Inkonsistensi itu yang jadi masalah. Syariah Islam hanya dilihat sebagai hukum cambuk,” ujar Uzair.
Pemberlakuan syariah Islam di Aceh tahun 1999 oleh Presiden Abdurrahman Wahid ketika itu merupakan bagian dari penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam upaya menegakkan syariah Islam secara menyeluruh, diberlakukanlah sejumlah aturan hukum lengkap dengan sanksi dan hukuman. Ironisnya yang senantiasa mengemuka adalah pemberlakuan hukuman terhadap pelanggaran asusila, sementara tindakan korupsi malah seakan tidak tersentuh. Catatan sejumlah lembaga pemerhati menunjukkan hukuman di bumi Serambi Mekah itu kini tidak saja diberlakukan pada warga Muslim, tetapi juga warga non-Muslim; yang kembali menimbulkan kecaman luas. [em/al]
Your browser doesn’t support HTML5