Jaringan Teroris Berkantong di 14 Daerah di Indonesia

  • Fathiyah Wardah

Densus 88 berjaga-jaga di luar rumah Muhammad Syarif, yang meledakkan diri di Masjid Polisi di Majalengka, Jawa Barat, April silam. (foto: dok).

Kepolisian, TNI dan Kejaksaan, Senin, menggelar rapat koordinasi soal penanggulangan terorisme di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyebut terdapat 14 daerah di Indonesia yang diidentifikasi sebagai kantong jaringan teroris.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, Senin, menjelaskan rapat koordinasi ini bertujuan untuk mensinergikan aparat TNI, kepolisian dan Kejaksaan khususnya yang berada di daerah dalam menanggulangi terorisme.

Para aparat tersebut diharapkan dapat mencegah atau melakukan pendeteksian dini sehubungan dengan ancaman teroris, khususnya di 14 daerah yang diidentifikasi sebagai kantong jaringan teroris.

Empat belas daerah tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogjakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Timur.

Ancaman terorisme di Indonesia menurut Ansyaad sudah sangat serius apalagi saat ini para teroris tersebut telah menjadi aparat negara sebagai sasaran mereka.

Ansyaad Mbai mengatakan, "Yang tadinya dari targetnya (pihak) Barat kemudian target kepada presiden, target kepada polisi, aparat negara. Ini tidak bisa dibiarkan. Kalau aparat negaranya sudah jadi target, bagaimana masyarakat nanti. Ketakutan masyarakat akan menjadi-jadi. Kemudian kalau kita lihat saling keterkaitan antara kelompok teroris di Poso, Bima, Sumatera, di Jawa begitu jelas, ini harus dihadapi secara bersama, tidak bisa sendiri-sendiri."

Dalam rapat koordinasi tersebut, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto meminta aparat di daerah lebih aktif dalam melakukan upaya pencegahan aksi terorisme. Ia juga mengatakan TNI harus berperan dalam menanggulangi terorisme sehingga para teroris tidak mudah masuk ke Indonesia.

Lebih lanjut Djoko Suyanto mengatakan, "Terorisme bisa terjadi di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Oleh karena itu aparat di daerah, apakah aparat territorial, aparat kepolisian, aparat penegak hukum, pimpinan daerah harus juga mewaspadai kejadian-kejadian dan fenomena itu. Jadi, lebih bagaimana aparat-aparat di daerah mencermati indikasi-indikasi awal. Tugas penindakan akan lebih mudah dalam arti menangkap, menghukum, menindak. Tapi operasi pencegahan, operasi deradikalisasi mengembalikan orang-orang yang sudah tersesat dalam pemikirannya, itu yang susah."

Sebelumnya, Anggota Dewan Ketahanan Nasional, Wawan Purwanto menyatakan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kurang tegas sehingga menyebabkan terus terjadinya aksi-aksi teror di Indonesia. Untuk itu, revisi terhadap undang-undang tersebut harus segera dilakukan.

Wawan Purwanto mengatakan, "Bila ada seseorang yang sudah terindikasi ada masuk kedalam pelatihan tertentu sudah bisa diintrograsi. Ada kewenangan-kewenangan yang lebih menggigit maksud saya. Kalau sekarang harus ada bukti permulaan yang cukup, baru bisa ditangkap."