Para pemilih di Afghanistan memberikan suara untuk memilih anggota parlemen baru hari Sabtu, meski terjadi beberapa serangan roket dan bom, yang dipandang sebagai ujian besar terhadap perjuangan pemerintah melawan pemberontak Taliban dan korupsi.
Menteri Dalam Negeri Afghanistan mengatakan, sedikitnya 11 warga sipil dan tiga polisi tewas dalam kekerasan terkait pemilu yang terjadi di Afghanistan.
Utusan khusus PBB untuk Afghanistan, Staffan De Mistura, melukiskan pelaksanaan pemilu itu belum menunjukkan hasil. Dia menyatakan terlalu dini untuk mengatakan bagaimana situasi keamanan memengaruhi jumlah pemilih yang datang ke TPS. Namun, pengamat mengatakan, jumlah pemilih ke TPS tidak begitu banyak.
Serangan itu termasuk serangan-serangan roket di Provinsi Baghlan, provinsi Kunar di Afghanistan timur dan Takhar di Afghanistan utara. Sebuah roket juga menghantam ibukota sebelum TPS-TPS dibuka. Pejabat Komisi Pemilu Fazel Ahmad Manawi mengatakan, sebanyak 92 persen dari sekitar 1.500 TPS dibuka.
KPU Afghanistan juga menerima beberapa laporan mengenai tuduhan pelanggaran pemilu, termasuk terlambatnya pembukaan TPS, penyalahgunaan kartu pendaftaran, adanya pemilih yang tak memenuhi syarat memberikan suara, kekurangan surat suara, serta mutu tinta yang rendah untuk menghindari kemungkinan pemberian suara lebih dari satu kali.
Banyak rakyat Afghanistan mengabaikan ancaman kelompok Taliban dan pergi ke TPS-TPS, tetapi pengamat mengatakan, jumlah yang memberikan suara masih terhitung rendah. Lebih dari 2.500 calon anggota parlemen memperebutkan 249 kursi di majelis rendah parlemen yang disebut wolesi jirga.
Para pejabat PBB dan Amerika telah menyadari bahwa pemilu kemungkinan besar akan dicurangi, tetapi mereka mengatakan, berlangsungnya pemilu dalam masa perang itu saja sudah merupakan pencapaian tersendiri bagi rakyat Afghanistan.