Asa Firda Inayah hari Senin (29/5) duduk sebagai pembicara utama Talk Show Kebangsaan Fisipol UGM dalam rangka Pekan Pancasila. Selama 2 jam lebih ia merespon puluhan pertanyaan dari sekitar 400 hadirin.
Afi, panggilan akrabnya, menjawab pertanyaan pribadi hingga pendapatnya tentang kebhinekaan Indonesia dan berbagai persoalan kebangsaan. Seperti remaja umumnya, Afi mengaku baru saja putus dari pacarnya yang memiliki pandangan sangat berbeda.
Pengagum Presiden Joko WIdodo itu juga menceritakan kebiasaannya membaca dan menulis buku harian sejak masih studi di SMP sehingga membuatnya mampu berfikir dan menulis secara baik.
Ia juga bercerita akun Facebooknya tidak bisa dibuka selama beberapa hari, dan ia juga menerima ancaman akan dibunuh melalui telepon. Afi juga kembali mengklarifikasi tulisannya yang berjudul Warisan yang menjadi pembicaraan ramai di media sosial.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kalau bahasa saya sih, jangan menjawab pakai dalil, kalau saya menjawab secara universal yang bisa difahami oleh semua agama, yang saya tanggapi dari tulisan Kak Gilang. Kalau mau pakai dalil sih bisa karena dari kecil saya sudah membaca kitab-kitab kuning, kitab klasik dari ulama-ulama terdahulu. Saya ngaji dari kecil hingga saat ini di (pondok) Diniyah Utsaniyah Al-Amin, jaraknya sekitar 1 km dari rumah saya.”
Terkait tulisannya Warisan, Afi mengaku tidak membaca semua komentar yang ditujukan kepadanya.
“Komentar di Warisan itu sudah mencapai 10.000 bagaimana saya bisa membaca semuanya. Mengapa saya tidak mau membalas komentar yang bersifat menyerang orang secara personal. Orang mengomentari itu, lalu ada orang lagi mengomentari komentar itu. Lalu konteks diskusinya makin jauh dari substansi tulisan yang asli.”
Pada kesempatan itu Afi juga menjawab pertanyaan tentang konsep minoritas dan mayoritas dan persoalan agama-agama. Bahkan ia mengatakan, benih-benih radikalisme berawal dari sekolah karena para murid diajari bersikap diskriminatif. Afi menegaskan, ia akan terus menulis untuk mengajak orang berfikir cerdas.
Ajakan itu mendapat respon dari dosen tamu di Fisipol UGM Dr Max Lane yang menyebutkan konflik di suatu negara sering timbul terkait boleh tidaknya orang berfikir bebas.
Nining, guru SD Kalam Kudus mengatakan, Afi adalah contoh murid yang bisa keluar dari kungkungan kurikulum sekolah yang tidak membebaskan.
“Dia itu seorang siswa yang bisa keluar dari sistem pendidikan, sistem pendidikan di Indonesia tidak membebaskan sebenarnya. Tapi dia justru bisa keluar dan bisa melihat apa yang benar-benar penting pada dirinya. Mungkin gurunya tidak menyuruhnya membaca tetapi dia tahu apa yang penting bagi dirinya dan itu ia lakukan,” ujar Nining.
Dr Erwan Agus Purwanto, Dekan Fisipol UGM mengatakan, mengundang Afi agar memberikan inspirasi bagi anak muda lainnya.
“Apa yang disampaikan Afi relevan ya dengan Indonesia hari ini. Saya kira Afi luar biasa untuk anak lulusan SMA, dia melampaui generasinya dari sisi bagaimana merespon persoalan-persoalan bangsanya, mendisipinkan dirinya untuk kemudian menjadi orang yang berbeda, dia adalah anak yang sudah tahu apa keinginannya,” ujar Dr Erwan Agus Purwanto.
Afi sendiri merasa ia seakan dibesar-besarkan. Ia mengaku, sebagai anak muda biasa yang bisa marah, kecewa dan takut. Afi membenarkan ia mendapat sejumlah tawaran beasiswa dan ia ingin melanjutkan studi Psikologi di Perguruan Tinggi. [ms/ab]