Seperti juga rakyat Amerika Serikat yang sedang disibukkan dengan konvensi mencari calon presiden, warga Yogya pun melakukan hal yang sama untuk mencari calon walikota mereka. Bedanya, konvensi di kota Yogya sama sekali tidak mengikutsertakan peran partai politik. Seperti Basuki Cahaya Purnama atau Ahok di Jakarta, calon walikota akan diusung melalui jalur non partai lewat organisasi Jogja Independent (Joint). Melalui proses yang sudah berlangsung sekitar satu bulan, setidaknya ada 15 nama masuk dalam konvensi. Mereka datang dari berbagai latar belakang, mulai akademisi, sineas, peneliti, konsultan hingga pegawai negeri sipil. Ada pensiunan yang sudah cukup umur, hingga perempuan muda berusia 25 tahun.
Sebuah panitia terdiri dari sembilan tokoh yang diketuai mantan komisioner KPK, Busyro Muqoddas, kemudian melakukan seleksi. Hari Minggu sore, di akhir acara konvensi inilah, terpilih nama sutradara senior Garin Nugroho dan konsultan bisnis UKM, Rommy Heryanto.
Busyro Muqoddas mengatakan, konvensi ini adalah pola baru di era demokrasi yang lebih terbuka. Seluruh pihak terlibat, terutama kepala Rukun Warga di kota Yogya dan tokoh masyarakat. Pola ini diklaim Busyro baru pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Biasanya para tokoh yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah, harus menyerahkan uang dalam jumlah besar kepada partai politik, untuk membeli kesempatan itu. Atau jika melalui jalur independen, tokoh itu muncul sendiri mengorganisir massa dan bukan dipilih dan dimunculkan oleh masyarakat, seperti di Yogya ini.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kami sudah memulai tradisi baru, untuk pendidikan politik dan pendidikan demokrasi, yang betul-betul berbasis pada penghormatan hak-hak rakyat. Itu yang terpenting,” ujar Busyro Muqoddas.
Garin Nugroho sendiri terlihat gembira dengan hasil konvensi ini. Sutradara spesialis film-film pemenang berbagai festival internasional ini melihat, Indonesia selama ini terlalu dikuasai oleh kepentingan politik dan bisnis. Sudah cukup lama, para cendekiawan dan budayawan tersingkir dari pentas politik. Kondisi itu menurutnya, telah menciptakan era politik yang vulgar dan kasar.
“Yogya adalah sumber dari manusia-manusia unggul dan kreatif. Maka Yogya harus dipimpin dengan cara-cara kepemimpinan yang menggabungkan politik, bisnis, dan juga cendekiawan serta budayawan, dengan teologi berbangsa. Hanya dengan cara itu maka humanisme warga akan terjamin dan menjadi kota yang toleran, produktif dan kreatif,” ujar Garin Nugroho.
Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti mencatat, pasangan independen yang memenangkan pemilihan kepala daerah di Indonesia terus meningkat prosentasenya. Fenomena ini menjadi bukti adanya sikap kritis masyarakat Indonesia terhadap partai politik. Ray Rangkuti bahkan meyakini, di masa depan akan ada lebih banyak calon independen di Indonesia, terutama karena banyaknya kasus korupsi di lingkungan partai dan mekanisme yang tidak transparan.
"Jadi ada mekanisme di internal partai yang output-nya tidak disukai publik. Itu yang membuat orang kemudian mencari jalan alternatif. Nah, alternatifnya itu kan kebetulan diwadahi oleh sistem di dalam pelaksanaan Pilkada, yaitu melalui jalur non partai. Kalau kita lihat gejalanya ini bakal tren di masa mendatang, dimana masyarakat kemungkinan besar akan mendorong calon-calon yang ideal menurut mereka memimpin daerah, melalui jalur non partai politik,” ujar Ray Rangkuti.
Ray Rangkuti mengingatkan, semakin tingginya popularitas calon-calon independen akan memunculkan reaksi di kalangan partai. Wacana memperberat persyaratan calon independen dalam Pilkada yang mengemuka di DPR, adalah salah satu bentuknya. Padahal seharusnya, kata Ray Rangkuti, partai politik berkaca dan membenahi diri, karena hal ini menjadi bukti turunnya kepercayaan rakyat terhadap partai.