Kasus dugaan perbudakan modern terhadap anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal ikan berbendera China masih terus menjadi perhatian.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan kementeriannya bekerjasama dengan KBRI di Bejing telah berkomunikasi melalui jalur diplomatik untuk menyampaikan keprihatinan terhadap berbagai kasus yang menimpa ABK asal Indonesia di kapal ikan berbendera China.
BACA JUGA: IOM Sebut Penahanan Dokumen Menjadi Modus Eksploitasi ABKPihak otoritas China, kata Judha, saat ini telah melakukan langkah lebih lanjut terkait hal ini. Menurutnya Pemprov Dalian di China telah membentuk satgas antar-departemen untuk melakukan investigasi yang komprehensif berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan sehubungan dengan pelarungan jenazah, pembayaran gaji, kondisi di atas kapal dan isu-isu lainnya.
Kementerian Luar Negeri Indonesia juga siap menfasilitasi kepolisian Indonesia jika memerlukan kerjasama investigasi dengan pihak China. “Menindaklanjuti ini Kementerian Luar Negeri siap bekerjasama membantu menfasilitasi kepolisian Republik Indonesia jika memerlukan kerjasama investigasi dengan pihak RRT melalui mekanisme Mutual Legal Asisstance,” kata Judha.
Masalah yang dialami para ABK Indonesia di kapal ikan asing diketahui mulai terkuak sejak video pelarungan jenazah ABK di Kapal Long Xing 629. Terdapat tiga ABK kapal tersebut yang meninggal dan jenazahnya dilarung ke laut. Satu ABK WNI lainnya meninggal di rumah sakit di Busan, Korea Selatan, karena sakit.
Berdasarkan keterangan sejumlah ABK yang bekerja di kapal tersebut dan berhasil dipulangkan oleh pemerintah Indonesia, diketahui bahwa para ABK asal Indonesia kerap mendapatkan perlakuan tidak manusiawi termasuk tindak kekerasan, jam kerja yang tidak manusiawi dan sebagian besar belum mendapatkan gaji.
Diperlakukan Tak Manusiawi, Dua ABK Melompat ke Laut
Baru-baru ini, dua ABK asal Indonesia melompat ketika kapal Lu Qian Yuan Yu 901, tempatnya bekerja melintas di sekitar Selat Malaka. Keduanya meloncat karena tidak tahan dengan perlakuan yang dialami selama bekerja di kapal tersebut antara lain menerima kekerasan dan gaji yang tidak dibayar. Kedua ABK ditemukan dan diselamatkan oleh nelayan Indonesia.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan banyaknya kerumitan pada proses birokrasi dalam penempatan kerja di sektor kelautan menyebabkan banyak agensi atau penyalur yang mengirim para ABK tidak melalui prosedur atau tanpa kelengkapan dokumen.
Prosedur dalam mendapatkan izin selama ini tidak hanya melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) tetapi juga harus melalui Kementerian Perhubungan. Ini terkait dengan penerbitan buku pelaut.
Penyebab lainnya kata Wahyu dikarenakan ketidaksiapan pemerintah dalam menyiapkan sumber daya manusia di sektor kemaritiman.
“Problemnya selain birokrasi tadi juga penerbitan dokumen-dokumen yang asli tapi palsu. Ini sebenarnya modus dalam penempatan pekerja migran yang lain. Ini juga penanda bahwa human trafficking juga terjadi di dalam proses penempatan ABK ini,” kata Wahyu.
BACA JUGA: Tak Tahan Diperlakukan Kejam, Dua ABK Indonesia Melompat ke LautWahyu menjelaskan pemerintah harus segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang perlindungan pekerja migran di sektor kelautan sebagai amanat dari Undang-undang No.18 Tahun 2017.
Dengan peraturan tersebut, kata Wahyu, diharapkan dapat menyederhanakan proses pengurusan, memperkuat sistem perlindungan pada pekerja migran serta mempersiapkan sumber daya manusia di sektor kelautan.
Melihat hanyaknya kasus yang menimpa ABK Asal Indonesia, Koordinator National Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohamad Abdi Suhufan meminta pemerintah menghentikan sementara (moratorium) pengiriman ABK terutama ke kapal China. “Jangan ada pengiriman dulu misalnya sampai PP-nya keluar. Prosedur dari pemerintah yang harus dibenahi. Ini kan carut marut sekarang. Nah kita minta pemerintah benahi dulu kecarut marutan ini. Kalau sudah dibenahi, sudah ada aturan yang pas yang betul-betul melindungi awak kapal perikanan kita baru boleh dibuka lagi,” ujar Abdi.
Your browser doesn’t support HTML5
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menyatakan kebijakan moratorium ini perlu dibahas antar kementerian/lembaga.
Menurutnya selain dengan kebijakan moratorium tersebut, perlu juga dilakukan perbaikan terkait tata kelola penempatan sehingga perlindungan ABK sudah mulai dilakukan sejak di hulu hingga ke hilir. [fw/em]