Presiden Joko Widodo menegaskan kemajemukan etnis, agama, dan budaya di Indonesia dilindungi konstitusi. Saat membuka simposium internasional Asosiasi Mahkamah Konstitusi dan Institusi Sejenis se-Asia di kompleks Universitas Sebelas Maret UNS Solo, Rabu (9/8), Presiden Jokowi mengatakan semua warga negara memiliki hak yang sama, kesetaraan. Jokowi mengingatkan model pemaksaan kehendak berdasar unsur SARA atau jumlah massa, bukanlah bentuk demokrasi.
“Kita memegang teguh Konstitusi, memastikan adanya penghormatan, perlindungan, pemenuhan hak-hak asasi warga negara Indonesia. Setiap warga negara punya kesamaan kedudukan, kesetaraan. Tidak ada warga negara kelas satu, kelas dua, dalam negara konstitusi. Konstitusi menjadi pelindung kemajemukan, pelindung keragaman, baik keragaman pendapat maupun keragaman etnis, budaya dan agama. Konstitusilah yang menjaga agar tidak ada satupun kelompok yang secara sepihak memaksakan kehendaknya tanpa menghormati hak warga negara lainnya. Konstitusi juga mencegah adanya mobokrasi, yang memaksakan kehendak berdasarkan jumlah massa pendukungnya. Merujuk konstitusi, di kita tidak ada satupun instansi atau lembaga yang memiliki kekuasaan mutlak apalagi seperti diktator, perimbangan kekuasaan antara lenbaga negara dan saling mengontrol,” ujar Presiden Joko Widodo.
Simposium internasional bertema “Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga Ideologi dan Demokrasi dalam Masyarakat Majemuk” berlangsung selama dua hari di Solo. Simposium ini dihadiri 13 negara anggota Asosiasi Mahkamah Konstitusi dan Institusi Sejenis se-Asia dan 7 negara sahabat dari kawasan Eropa dan Afrika.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia Arief Hidayat mengungkapkan UUD 1945 dan Pancasila sebagai bagian dari Konstitusi menunjukkan kemajemukan yang ada di Indonesia. Menurut Arief, konflik bernuansa SARA muncul karena lunturnya semangat kebhinekaan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Masyarakat majemuk di Indonesia yang toleran, bisa bersinergi itu sudah ada sejak dulu, sejak Indonesia lahir. Persoalan atau konflik yang terjadi bernuansa SARA itu sebagai bentuk kohesi sosial yang meluntur. Kita mungkin agak lupa dalam mengelola semangat kemajemukan. Indonesia itu masyarakat yang heterogen tetapi toleran. Prinsip dalam pembukaan UUD 1945itu tidak mengambil dari luar, justru ini dari dalam negeri, menggali dari semangat kebhinekaan masyarakat Indonesia. Justru dengan simposium ini, kita share atau berbagi pengalaman dengan negara-negara lain,” ujar Arief Hidayat.
Munculnya peraturan berbasis agama tertentu di sejumlah daerah masih menjadi sorotan. Selain itu, konflik bernuansa SARA yang marak terjadi antara lain berupa perusakan atau perobohan patung simbol salah satu agama atau etnis oleh kelompok massa tertentu di beberapa daerah. Begitu juga konflik horisontal berkaitan dengan pendirian atau perizinan tempat ibadah.
Tak hanya itu. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang organisasi Kemasyarakatan, pemerintah membubarkan ormas yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila. Namun Perppu tersebut digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh beberapa ormas karena dianggap melanggar demokrasi. Upaya pemerintah memblokir sejumlah aplikasi berbasis online karena temuan dugaan dipakai kelompok terorisme melakukan komunikasi sempat membuat kontroversi di masyarakat yang beranggapan pemblokiran tersebut merupakan bentuk sikap otoriter dan bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi. [ys/uh]