Eksistensi Masyarakat Adat dan Ekspansi Sawit di Sorong

  • Nurhadi Sucahyo

Pekerja mengumpulkan buah sawit dari kebun sawit di kawasan transmigrasi Arso, Papua, 19 April 2007. (Foto: REUTERS/Oka Barta)

Tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit menggugat Bupati Sorong, Papua Barat, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena pencabutan izin. Persoalan hukum ini mengungkap problem lain yang lebih besar dan akut, yaitu eksistensi masyarakat adat.

Alasan Bupati Sorong, Jhon Kamaru, mencabut izin perusahaan sawit itu sebenarnya sederhana. Mereka telah diberi hak guna usaha di lahan milik masyarakat adat. Namun, setelah sekian lama hanya sebagian kecil dari luasan yang diberikan, dimanfaatkan untuk perkebunan. Tanah yang dibiarkan tidak produktif, dinilai tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat adat.

Bupati Sorong, Papua Barat, Jhon Kamaru. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Dengan sendirinya setelah kita melakukan pencabutan, berarti sisa lahan yang ada dengan sendirinya kita kembalikan kepada masyarakat adat, pemilik hak ulayat yang ada,” kata John Kamaru, Senin (30/8) dalam keterangan kepada media secara daring.

John Kamaru juga mencatat sejak izin diberikan oleh pemerintah daerah periode lama, telah beberapa kali terjadi pergantian manajemen. Namun kegiatan usaha tetap tidak berjalan di lapangan. Pemerintah daerah kemudian melakukan kajian bersama Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari evaluasi yang dilakukan, tidak adanya kegiatan usaha nyata ini membuat masyarakat setempat tak memperoleh manfaat ekonomi.

Seorang petani mengumpulkan buah kelapa sawit di kawasan transmigrasi Arso di Provinsi Papua, 19 April 2007. (Foto: Reuters)

“Kita cabut demi kelangsungan hidup masyarakat adat di sana, demi kelestarian lingkungan alam, demi kesinambungan pembangunan, demi undang-undang yang ada, demi hak asasi manusia dan berbagai macam pertimbangan,” tandas John.

Dukungan untuk Bupati

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Papua Barat, Mamberop Yosephus Rumakiek, dalam tangkapan layar.

Keputusan Bupati Sorong ini memperoleh dukungan dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Papua Barat, Mamberop Yosephus Rumakiek. Dia menilai, tidak banyak bupati di Papua Barat atau Papua yang berani mengambil keputusan semacam itu.

“Kami merasa ini sesuatu yang entah lucu atau sangat mengganggu, karena pemerintah yang punya kewenangan bisa digugat. Sudah dijelaskan, izin diberikan dan kemudian penggunaan izin yang diberikan itu terjadi kesalahan sehingga tidak bisa ditoleransi,” kata Mamberop memberi alasan

Lebih jauh Mamberop mengatakan, dalam praktik terkait izin dan pelaksanaan izin itu di lapangan, penyimpangan sering terjadi, dan masyarakat adat biasanya menjadi korban. Salah satunya menyangkut luasan kawasan yang dikelola, di mana ketika sebuah perusahaan diberi hak guna seluas tertentu, hutan yang dia babat jauh lebih luas dari jumlah yang tertulis di surat izin.

BACA JUGA: Hilang Hutan Adat Karena Ekspansi Sawit di Papua

Namun, persoalan juga lebih besar dari itu, karena Papua dan Papua Barat menyandang status otonomi khusus. Presiden Joko Widodo sendiri berkali-kali berpesan agar hutan Papua dijaga terkait status khusus ini. Pada praktiknya, yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang disampaikan presiden.

“Ini menjadi tugas kita bersama-sama untuk memperjuangkan bersama-sama agar kepemilikan masyarakat adat ini tidak dikuasai sepihak. Apalagi izin-izin konsesi yang ditentukan langsung oleh pemerintah pusat melalui kementerian, tanpa berkoordinasi dengan masyarakat adat atau bahkan pemerintah daerah,” lanjut Mamberop.

Ia menambahkan, ada sejumlah perusahaan perkebunan yang tiba-tiba datang ke Papua dan sudah memiliki izin dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah dan masyarakat adat tidak kuasa menolak. Status otonomi khusus pun seolah tidak memberi kewenangan ke daerah, dalam soal semacam ini, meski dengan alasan untuk melindungi masyarakat adat.

Apa yang terjadi di Sorong, diharapkan dapat menjadi contoh bagi kabupaten lain di Papua Barat dan Papua, agar berani mengambil keputusan demi masyarakat adat.

Pendeta Dora Balubun dari KPKC Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) Tanah Papua, dalam tangkapan layar.

Dukungan juga datang dari pihak gereja. Keputusan Bupati Sorong mencabut izin perusahaan sawit ini, menurut Pendeta Dora Balubun, menjadi pengalaman pertama bagi mereka. Pendeta Dora berbicara mewakili Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) Tanah Papua.

Pendeta Dora juga mengatakan gereja telah mengirim surat kepada pengadilan sebagai dukungan kepada pemerintah daerah menghadapi kasus ini.

“Dari pengalaman GKI di Tanah Papua, masyarakat adat selama ini berjuang sendiri, dan sudah ada beberapa permohonan kami, untuk terus-menerus melakukan pendampingan masyarakat adat. Surat langsung ditujukan kepada gereja. Masyarakat adat meminta gereja mendampingi mereka,” kata Pendeta Dora.

BACA JUGA: Komnas HAM Papua: Tindakan Aparat Keamanan Perusahaan Sawit Berlebihan

KPKC GKI Tanah Papua, menurut Pendeta Dora, belum lama juga menerima surat dari Klasis Malamoi terkait persoalan serupa. Setidaknya gereja telah terlibat dalam pembelaan terhadap masyarakat adat menghadapi ekspansi perkebunan kelapa sawit, dalam empat atau lima tahun terakhir.

“Dalam perjuangan kita berhadapan bukan hanya dengan kekuatan pemilik modal, tetapi juga kebijakan-kebijakan negara dan aparatur negara. Dalam melakukan pendampingan, kita berhadapan dengan kekuatan negara, aparat militer dan sebagainya. Masyarakat adat mendapatkan intimidasi dan perlakuan yang tidak benar, karena itu mari kita terus berjuang bersama,” papar Pendeta Dora.

Masyarakat Adat Melawan

Tokoh perempuan Suku Moi, Frida Klasin, dalam tangkapan layar.

Bagi masyarakat adat, pencabutan izin bagi perusahaan sawit di Sorong adalah gebrakan yang penting. Langkah itu, menurut tokoh perempuan Suku Moi, Frida Klasin, bermaka banyak bagi lingkungan hidup dalam konteks hutan, keberlanjutan hidup masyarakat adat dan wilayah penghidupan mereka.

“Ini wujud kongkret bagaimana pergumulan masyarakat adat menghadapi derasnya investasi yang terus masuk ke wilayah masyarakat adat, terutama yang berkaitan dengan hutan,” paparnya.

Hutan dalam konteks perempuan adat, kata Frida, sangat penting maknanya. Di dalamnya tersimpan sejumlah hal yang menjadi identitas masyarakat adat.

“Hutan bukan sekedar rapatan pohon, karena di dalam hutan itu ada tempat keramat. Di dalam hutan itu ada dusun sagu. Di dalam hutan itu ada nama-nama tempat yang hanya bisa dikenali oleh masyarakat adat dan terperinci oleh marga, yang berkaitan dengan hutan,” lanjutnya.

Mahasiswa menggelar aksi di halaman PTUN Jayapura mendukung pencabutan ijin perusahaan sawit di Sorong. (Foto: Courtesy/Yohanis Mambrasar)

Langkah pemerintah daerah ini diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah pusat dalam melihat kembali kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan hutan. Setiap keputusan terhadap kawasan adat jika tidak melibatkan masyarakat adat, menurut Frida, adalah pelanggaran terstruktur dan sistematis oleh negara. Ke depan, masyarakat adat harus menjadi bagian penting untuk diperhitungkan, ketika wilayah-wilayah adat mereka dijadikan sasaran konversi.

Silas O. Kalami, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Malamai, dalam tangkapan layar.

Silas O. Kalami, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Malamai, menyebut praktik semacam ini sudah lama terjadi di Papua dan Papua Barat.

“Ini praktik yang terjadi sejak 10 atau 15 tahun yang lalu, di mana pemerintah daerah memberikan izin kepada perusahaan sebelum bertanya kepada masyarakat adat. Kamu mau tidak, kelapa sawit ini masuk di wilayah adat Anda,” kata Silas.

Di sejumlah wilayah, menurut pengalaman Silas, masyarakat adat mengatakan tidak pernah menandatangani dokumen apapun terkait pelepasan lahan bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Proses ini jelas tidak demokratis. Perubahan dilakukan, khususnya di Sorong saat ini, karena mereka memiliki Perda 10/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Moi. Aturan lokal ini mengakomodasi prinsip-prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan.

“Pemerintah daerah, perusahaan atau investor yang membutuhkan tanah, harus memberikan penjelasan kepada masyarakat adat, mereka mau atau tidak menerima sebuah program pembangunan. Masyarakat adat berhak menolak, menerima atau mengusulkan bentuk pembangunan yang lain,”jelas Silas.

Aksi solidaritas di lakukan masyarakat adat di Sorong, Manokwari dan Jayapura. (Foto: Courtesy/Yohanis Mambrasar/PAHAM Papua)

Di sisi lain, Silas juga percaya masyarakat adat perlu penguatan kapasitas.

“Supaya masyarakat adat itu tidak terpengaruh dengan tawaran pejabat atau investor. Mereka harus menjaga hutan adat, sebagai firdaus pemberian Tuhan,” ujarnya.

Apa yang berlaku pada 10 atau 15 tahun lalu berdampak saat ini di Sorong dan sekitarnya. Silas mencatat di Sorong ada salah satu marga yang sama sekali sudah tidak memiliki tanah adat. Di wilayah Klamono, lanjutnya, juga ada marga yang kampungnya berada di tengah perkebunan sawit. Marga ini juga sudah tidak memiliki tanah adat karena melepaskan haknya belasan tahun lalu.

BACA JUGA: Menata Regulasi dan Memperkuat Kemitraan Industri Kelapa Sawit

“Orang-orang kita juga pendidikan terbatas di zaman-zaman awal, sehingga semua ramai-ramai bikin pelepasan tanah adat. Saya duduk pikir, ini yang terjadi pada masyarakat adat kalau tidak ada regulasi yang melindungi mereka,” lanjut Silas.

Sebagai tokoh adat, Silas berpesan kepada politisi dan pemimpin agar tidak hanya sekadar memakai baju adat. Prinsip, ideologi dan perjuangan masyarakat adat juga harus mereka pahami. [ns/ah]