Dalam pidato tahunan, Rabu (6/1), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan pemerintah akan meningkatkan, dari hulu hingga hilir, sistem perekrutan hingga penempatan anak buah kapal yang akan bekerja di kapal asing.
"Antara lain melalui pembentukan peta jalan ratifikasi ILO C-188 on Work in Fishing Convention, nota kesepahaman penempatan khusus ABK perikanan dengan negara tujuan,” jelasnya.
BACA JUGA: ABK Asal Indonesia Diperbudak, Kemlu akan Panggil Dubes ChinaSelain itu, lanjut Retno, pemerintah akan memanfaatkan perjanjian hukum timbal balik untuk penegakan hukum yang tegas bagi para pelaku yang terlibat perdagangan orang dan kerja paksa terkait awak-awak kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing.
ABK asal Indonesia, yang bekerja di kapal-kapal ikan China, paling rawan terjerat kasus perdagangan orang serta perbudakan. Tahun lalu, kasus yang menghebohkan, 14 ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan China, Long Xing 629, mengaku mendapat perlakukan buruk dan penyiksaan selama bekerja. Empat rekan mereka, yang juga bekerja di kapal Long Xing 629, meninggal akibat kondisi kerja yang buruk dan perlakuan tidak manusiawi.
Your browser doesn’t support HTML5
Tiga ABK Indonesia yang mengembuskan napas terakhir di kapal ikan Long Xing 629, dilarung ke laut. Satu lagi kru dari Indonesia meninggal di rumah sakit di Busan, Korea Selatan.
Data lain, satu ABK dari Indonesia juga dilarung ke laut setelah meninggal di kapal ikan China bernama Tuan Yu 8. Dua warga Indonesia lainnya meninggal saat berlayar di Samudera Pasifik dan dilarung ke laut pada Desember 2019.
BACA JUGA: WNI Dilarung ke Laut, Kelompok Sipil Tuntut Upaya Hukum Sampai TuntasBeberapa waktu lalu, Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1 Desember mengesahkan resolusi mengenai keamanan anak buah kapal (ABK). Resolusi yang digagas oleh Indonesia tersebut disponsori 71 negara, termasuk Amerika Serikat, Rusia, Jerman, dan Australia. Menurut Retno, ini merupakan resolusi pertama Majelis Umum PBB tentang keamanan ABK dan pengelolaan arus barang secara global.
“Beberapa hal penting yang diangkat oleh resolusi tersebut antara lain menetapkan pelaut sebagai pekerja sektor penting, meminta pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan terkait untuk memastikan pelaksanaan protokol keselamatan bagi pelaut, termasuk pergantian kru, fasilitasi perjalanan, repatriasi, dan akses ke layanan kesehatan," kata Retno.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan mengingatkan pemerintah untuk memperbaiki sektor hulu di dalam negeri dalam proses pengiriman ABK ke luar negeri untuk mencegah pengiriman para pelaut secara ilegal.
"Pemerintah jangan melupakan upaya pembenahan yang terjadi di hulu. Misalnya, hal-hal yang terkait dengan bagaimana ABK itu direkrut, bagaimana kompetensi dan sertifikasi mereka bisa dipenuhi, bagaimana legalitas lembaga yang merekrut ABK tersebut, bagaimana sistem penggajian mereka, dan satu hal yang paling penting adalah harmonisasi regulasi pelaut atau awak perikanan migran," ujar Abdi.
Abdi meminta pemerintah memastikan agar semua perusahaan perekrut ABK memiliki izin dan melakukan perekrutan melalui jalur yang sah. Perusahaan perekrut, tambahnya, juga harus bersikap transparan mengenai jumlah gaji yang akan diterima ABK dari perusahaan yang akan mempekerjakannya di luar negeri. [fw/ab]