Dalam diskusi virtual yang digelar Rabu (10/6), Koordinator Program Nasional Penanganan Perdagangan Orang dan Unit Migrasi pekerja di IOM (Organisasi Migrasi Internasional) Among Pundi Resi mengatakan ada sejumlah modus yang dilakukan untuk mengeksploitasi awak kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing, yang rata-rata dipaksa bekerja dalam waktu sangat lama setiap hari. Modus yang paling sering ditemukan adalah penahanan dokumen.
“Penahanan dokumen sering kali menjadi modus untuk melakukan eksploitasi sehingga teman-teman ini (awak kapal ikan asal Indonesia) tidak memiliki daya, bagaimana mereka akan keluar dari situasi eksploitasi. Karena mereka tidak memiliki dokumen, mereka tidak berani bahkan untuk melangkah keluar dari pelabuhan. Karena mereka tahu ada ancaman imigrasi di sana dan sebagainya," kata Among.
Dokumen Ditahan, Gaji Tak Dibayar
Modus selanjutnya untuk mengeksploitasi awak kapal ikan, kata Among, adalah menahan gaji atau gaji tidak dibayar sama sekali. Ada yang menjanjikan setelah selesai kontrak, semua gaji akan ditransfer. Namun dalam banyak kasus, awak kapal ikan asal Indonesia sama sekali tidak menerima gaji hingga mereka pulang ke tanah air.
Di samping itu, ada perbedaan kontrak kerja, antara versi bahasa asing dengan versi bahasa Indonesia. Isi kontrak kerja dalam bahasa Indonesia menggiurkan. Tapi ketika sudah di atas kapal atau di negara transit, mereka disodorkan kontrak baru ditulis dengan bahasa yang tidak dimengerti, yang isinya berbeda.
Modus lainnya buat mengeksploitasi awak kapal ikan adalah kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Ada temuan penggunaan kekerasan, pemenjaraan di ruang khusus dalam kapal, ancaman imigrasi, bahasa, kapal selalu berada di tengah laut, pemindahan dari satu kapal ke kapal lain di tengah laut, dan jerat utang.
Among menekankan satu awak kapal tidak hanya mengalami satu bentuk eksploitasi tapi bisa mengalami beberapa ekpsloitasi sekaligus.
Among menjelaskan maraknya perdagangan orang di sektor perikanan tangkap dipicu oleh penangkapan ikan berlebihan. Hal ini menyebabkan terjadinya penangkapan ikan secara ilegal yang berdampak pada penurunan stok ikan. Gegara penurunan stok ikan itu, maka kapal-kapal ikan melaut dengan sangat jauh.
Karena harus melaut dengan sangat jauh, lanjut Among, kapal ikan membutuhkan ABK yang bersedia untuk ditempatkan di atas kapal dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu pemilik kapal harus mencari tenaga kerja murah agar bisa memangkas biaya operasional kapal dan meningkatkan keuntungan. Walhasil perekrutan besar-besaran pun dilakukan, secara legal dan ilegal.
BACA JUGA: Kemlu: Banyak WNI Bekerja Ilegal Sebagai ABK Kapal Ikan AsingAmong menambahkan ada sejumlah modus perekrutan dalam perdagangan orang di sektor perikanan tangkap. Untuk awak kapal asing, perekrutan dilakukan dengan cara menculik, terutama terhadap awak kapal berasal dari Myanmar dan Laos.
"Kalau dari ABK kita, rata-rata bujuk rayu dengan iming-iming gaji, jeratan utang, dan tawaran magang. Kemudian menggunakan orang dekat, sahabat, dan juga teman sebaya. Dan penipuan jenis pekerjaan, janjinya bekerja di darat ternyata bekerjanya di laut. Terakhir adalah penipuan dalam konteks tempat kerja," tutur Among.
Kemlu : Ada 1.200 Kasus Yang Melibatkan ABK Indonesia
Menurut Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha, pihaknya pada 2017 dan 2018 menangani 1.200-an kasus yang melibatkan pelaut Indonesia di luar negeri. Kemudian tahun lalu ada 1.095 kasus dan kebanyakan awak kapal ikan.
Selain tentang kasus pelarungan jenazah awak kapal asal Indonesia ke laut, menurut Judha, para anak buah kapal dari Indonesia tersebut menerima perlakuan tidak manusiawi selama bekerja di atas kapal. Namun dia menekankan kasus-kasus tersebut hanyalah seperti puncak gunung es, masih ada lebih banyak persoalan di bawah permukaan terkait awak kapal Indonesia bekerja di luar negeri yang perlu ditangani mulai dari hulu sampai hilir.
Judha menyebutkan masalah pertama yang perlu segera dibereskan adalah tata kelola migrasi. Dia menambahkan ada tumpang tindih dalam proses yang prosedural mengenai pengiriman awak kapal Indonesia keluarga negeri. "Tata kelola migrasi menjadi jawaban kalau kita ingin memberikan perlindungan yang lebih baik. Maka perlindungan harus diberikan sejak awal, pada saat perekrutan. Kita pahami bahwa awak kapal perikanan kita berangkat tidak melalui prosedur," kata Judha.
Di samping itu, penegakan hukum harus dilaksanakan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku jika unsur-unsur pidana sudah terpenuhi. Pasal 4 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pelaku yang mengeksploitasi warga Indonesia di luar negeri bisa dikenai hukuman penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda terendah Rp 120 juta dan tertinggi Rp 600 juta.
Your browser doesn’t support HTML5
Lebih lanjut Judha mengungkapkan kesadaran masyarakat perlu dibangun karena perlindungan hakiki adalah dari diri sendiri. Siapa saja ingin berangkat untuk bekerja keluar harus menyadari dan memahami perlu mengikuti prosedur resmi.
Judha mengakui banyak kasus menimpa awak kapal ikan asal Indonesia karena memang kondisinya berbeda dengan awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal niaga atau kapal pesiar.
Dia menyebutkan awak kapal niaga itu profesional, memiliki keahlian dan pengetahuan yang memadai, memiliki rute pelayaran yang pasti, kondisi kerja relatif lebih baik, diatur melalui Maritime Labour Convention telah diratifikasi oleh Indonesia. Sedangkan awak kapal ikan berpendidikan relatif rendah, rute pelayaran bergantung tangkapan ikan, kondisi kerja relatif buruk, dan diatur melalui ILO Convention yang belum diratifikasi oleh Indonesia.
Untuk mencegah terjadinya tindak perdagangan orang terkait awak kapal Indonesia yang bekerja di luar negeri, Judha menyerukan perbaikan dalam tata kelola penempatan melalui satu pintu atau institusi, sehingga awak kapal dan perusahaan pengirim memberangkatkan awak kapal melalui satu lembaga saja. Dengan kebijakan satu pintu ini, maka tata kelola pengiriman awak kapal ke luar negeri lebih mudah diawasi.
Kemudian harus ada pelatihan dan peningkatan kompetensi terhadap calon awak kapal yang akan diberangkatkan untuk bekerja di luar negeri. Lalu harus ada perbaikan dalam hal perjanjian kerja agar bisa melindungi keamanan dan keselamatan calon awak kapal. Dalam proses ini harus ada pendampingan sehingga perjanjian kerja itu tidak merugikan awak kapal dari Indonesia. Terakhir adalah penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang melanggar prosedur resmi untuk pengiriman awak kapal ke luar negeri.
Istri ABK Yang Lompat ke Laut Berikan Kesaksian
Pada kesempatan diskusi secara virtual ini, Fenny Susanti menceritakan pengalaman pahit suaminya, Andri Juliansyah, baru-baru ini terjun ke laut dari atas kapal ikan China tempat dia bekerja karena sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan kejam dia terima. Kejadian ini berlangsung di sekitar Selat Malaka.
Menurut Fenny, suaminya itu dibujuk oleh calon penyalur bernama Syafruddin untuk bekerja di Korea Selatan dengan janji akan menerima gaji Rp 30-40 juta per bulan. Namun untuk bisa berangkat ke sana, Andri mesti membayar uang Rp 50 juta.
BACA JUGA: Tak Tahan Diperlakukan Kejam, Dua ABK Indonesia Melompat ke LautTernyata, lanjut Fenny, suaminya itu ditipu. Bukannya bekerja di Korea Selatan, Andri malah dipekerjakan di kapal ikan Lu Qian Yuan Yu 901 berbendera China. Andri tidak betah bekerja di sana karena kondisi kerja yang buruk.
"Karena di sana (di kapal ikan China itu) hak-haknya Mas Andri dan kawan-kawan tidak diterima. Misalnya selama bekerja tidak pernah diberi gaji, HPnya disita, dan tidak pernah berkomunikasi dengan saya selaku istrinya dan keluarga yang lain selama lima bulan bekerja di kapal," ujar Fenny.
Andri dan rekannya, Reynalfi, pada 5 Juni lalu nekat melompat ke laut setelah mengetahui dari radar kapal ikan China tempat mereka bekerja sudah mendekati wilayah perairan Indonesia, yakni di Kepulauan Riau. [fw/em]