Laporan setebal 75 halaman itu dipublikasikan pada Jumat (1/7) di Jayapura, Papua. Data perdagangan senjata dan amunisi diperoleh dari putusan pengadilan dan pemberitaan media. Peneliti juga melakukan wawancara pelaku, terpidana, terdakwa, pengacara, Komnas HAM dan Polda Papua. Penelitian dilakukan di Jayapura, Wamena dan Nabire dalam rentang periode putusan pengadilan pada 2011-2021.
Direktur ALDP, Latifah Anum Siregar, menjelaskan dari seluruh kasus yang disidangkan di pengadilan selama 10 tahun terakhir, 51 orang ditetapkan sebagai pelaku, sebanyak 31 orang di antaranya adalah masyarakat sipil, 14 anggota TNI dan enam anggota polisi. Di luar itu, masih ada sekitar 10 pelaku yang masuk daftar pencarian orang dan lebih dari 20 pihak terkait yang tidak diproses hukum. Transaksi perdagangan senjata dan amunisi ini mencapai lebih dari Rp 7,2 miliar.
“Karena perdagangan senjata api dan amunisi itu fenomena gunung es, kami meyakini bahwa peristiwa yang terungkap itu hanya 30-50 persen. Jadi kalau dibilang dana barang bukti sekitar Rp7 miliar, maka kita bisa memastikan itu sekitar Rp20 miliar lebih sebenarnya,” kata Anum dalam presentasi hasil penelitian di Jayapura, Jumat (1/7).
Ada empat jalur perdagangan senjata yang dicatat ALDP dalam laporan ini. Pertama adalah penjualan dari aparat TNI atau Polri kepada masyarakat umum. Jalur kedua adalah penjualan dari masyarakat umum kepada sesama masyarakat umum. Jalur ketiga, penjualan dari aparat TNI atau Polri kepada anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Sedangkan jalur keempat adalah jual beli di antara anggota TPNPB sendiri.
Fenomena Gunung Es
Perdagangan senjata dan amunisi di Papua disebut sebagai fenomena gunung es, karena sejumlah fakta. Pertama, pelaku yang berulang. Kedua, jaringan transaksi beragam di banyak tempat. Ketiga, jalur transaksi sangat beragam yakni darat, laut dan udara. Keempat, peristiwa kontak tembak, penyerangan atau penyergapan terhadap aparat TNI dan POLRI, makin sering terjadi. Keenam, proses hukum hanya menindak pelaku di lapangan, sementara penyedia utama senjata api dan pemberi dana tidak diproses.
ALDP juga mencatat, ada banyak pihak yang terkait dengan transaksi senjata dan amunisi yang namanya disebut dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tetapi tidak ditindaklanjuti. Nama-nama itu mulai dari masyarakat sipil, hingga anggota TNI yang kesatuannya jelas disebutkan dalam dokumen.
“Mereka yang di atas itu tidak terungkap. Jadi yang selalu diproses adalah pelaku di lapangan. Padahal jelas, setiap senjata itu ada nomor serinya. Jadi kalau misalnya aparat TNI mau menindak tegas aparatnya, aparat kepolisian juga demikian, seharusnya bisa diungkapkan, siapa pelaku mulai dari jaringan yang di atas hingga pelaku di lapangan,” papar Anum.
ALDP juga melaporkan, uang yang berputar dalam jual beli senjata di Papua berasal dari Dana Desa, dana hasil tambang dan dana yang beredar saat pesta demokrasi. Satu butir peluru dihargai antara Rp150 ribu hingga Rp250 ribu. Sepucuk pistol harganya antara Rp15 juta hingga Rp100 juta. Sedangkan senapan M16 dan M4 dibanderol harga Rp90 juta sampai Rp.330 juta per unitnya.
BACA JUGA: Penembakan Papua dan Perdagangan Gelap AmunisiMotif perdagangan senjata adalah ekonomi, penguasaan sumber daya alam, pertentangan antara kebijakan keamanan versus penyelesaian konflik, urusan prestasi atau jenjang karier, serta rendahnya kesejahteraan aparat di lapangan.
Lokasi Merata di Papua
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer sepakat bahwa proses hukum yang tidak tuntas membuat bisnis senjata terus berlangsung.
“Kita lihat dari proses ini, kenapa sampai bisnis ini terus terjadi, karena memang dalam proses hukum tidak diungkap, siapa yang penghubung, siapa yang penjual, siapa yang penyandang dana. Itu tidak diungkap,” kata Gustav, mengomentari laporan ALDP.
Gustav menyatakan dalam proses BAP, polisi memahami petanya. Polisi tahu siapa penghubung dan siapa penyandang dananya. Namun, bahkan sampai di pengadilan hakim juga tidak berupaya mengungkap hal itu.
“Saya dalam kasus di Nabire itu, saya tanya polisi yang memeriksa tahu amunisi ini dari siapa. Mereka tahu itu dari TNI. Kenapa tidak ungkap? Mereka diam saja,” cerita Gustav.
Gustav juga menyebut, kasus jual beli senjata merata terjadi di Papua. “Di titik-titik yang ada konflk, itu memang potensi transaksinya besar di situ,” tambahnya.
Sejumlah wilayah yang disebut Gustav adalag Lanny Jaya, Timika, Wamena, Nabire, dan Pegunungan Bintang.
Akademisi Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung, mengatakan pelaku jual beli senjata ini beragam, dari masyarakat biasa, aparatur sipil negara, pendeta hingga anggota pasukan non-organik, TNI maupun Polri.
“Saya sudah sampaikan ke Panglima TNI, Kapolda, dan pemerintah pusat bahwa ada transaksi-transaksi peluru, yang dilakukan oleh pasukan-pasukan non organik. Ketika mereka pulang, mereka tinggalkan peluru mereka, sehingga ketika dideteksi di gudang-gudang disini, peluru tidak keluar,” kata Marinus.
Karena itulah, TNI dan Polri diminta mengawasi ketat, anggota mereka ketika datang dan meninggalkan Papua untuk bertugas.
“Berapa peluru yang mereka bawa, demikian mereka keluar peluru itu harus dihitung betul. Sudah sampaikan berkali-kali, tetapi memang diakui bahwa ada kelemahan di sana, ketika mereka di lapangan, komandan-komandan satuan maupun komandan peleton sulit sekali mengawasi hal itu,” tandasnya.
Kasus Terus Terjadi
Perdagangan senjata api dan amunisi memang terus terjadi di Papua. Kasus terakhir, polisi di Polres Yalimo menangkap seorang ASN asal Kabupaten Nduga, yang kedapatan membawa senjata api dan 615 butir amunisi.
Dari keterangan resmi Polda Papua, polisi menyita dari ASN tersebut satu pucuk senjata FN, satu magazin SS1, dan satu magazin V2 Sabhara. Sedangkan rincian amunisi yang disita dari pelaku adalah MK3 (379 butir), moser (2 butir), AK (3 butir), SS1 (158 butir), revolver (10 butir), US Carabine (52 butir) dan V2 (11 butir).
Sebelumnya, pada 7 Juni 2022 polisi juga menangkap dua anggota TNI yang menjual sepuluh butir amunisi. Dalam keterangan resmi Polda Papua, tim gabungan TNI-Polri menangkap oknum aparat berinisial JS dan AK di kampung Yokatapa, Kabupaten Intan Jaya.
BACA JUGA: Baku Tembak Kembali Terjadi, TNI Tegaskan Tak Akan Pergi“Dari pemeriksaan terhadap JS, tersangka mengakui telah menjual amunisi kepada FS, dan kita juga sudah mengamankan barang bukti berupa 10 butir Amunisi Cal 5,56MM,” kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol A. Musthofa Kamal, SH.
Sepuluh butir amunisi itu diperjualbelikan seharga Rp2 juta.
Sebelumnya, pada 29 Maret 2022 lalu, tim gabungan Polres Keerom dan Satgas Ops Damai Cartenz, mengamankan pelaku dugaan tindak pidana penjualan dan pembuatan senjata api rakitan, di Kabupaten Keerom, Papua. Beberapa senjata rakitan dan ratusan amunisi disita dalam operasi ini.
Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Papua, dalam pernyataan pada 17 Juni di laman resmi menyatakan akan memproses setiap pelanggaran oleh personel mereka.
“Untuk langkah penegakkan hukum, tentunya bagi personel Polri yang menyalahgunakan kewenangan maupun tindak pidana, contohnya jual beli amunisi ataupun kasus menonjol lainnya, tentu akan dilaksanakan langkah penegakan hukum yang profesional baik dari sisi pidana umum maupun peraturan internal Polri itu sendiri,” ujar Kepala Bidang Propam Polda Papua, Kombes Pol. Gustav R. Urbinas.
Rekomendasi dari ALDP
Untuk mengatasi persoalan ini, ALDP merekomendasikan sejumlah langkah, berdasar penelitian yang sudah dilakukan. Panglima TNI dan Kapolri diminta melakukan evaluasi internal terkait produksi, mekanisme distribusi dan penguasaan senjata api dan amunisi termasuk pembatasan pembawaan, tata cara penyimpanan dan penggunaannya di setiap tingkatan dan pada jajaran aparat organik maupun non organik.
BACA JUGA: Polda Papua Ungkap Identitas Penembak Warga Sipil di Intan JayaAparat penegak hukum diharapkan tidak saja memroses pelaku tetapi juga mengungkapkan jaringannya. Sedangkan pemerintah perlu meningkatkan pengawasan di wilayah-wilayah potensial yang menjadi pintu masuk atau jalur perdagangan. Pemerintah juga perlu mengevaluasi berbagai aturan yang berhubungan dengan kepemilikan dan penguasaan senjata api dan amunisi dengan sistem terintegrasi.
Pemerintah diminta melakukan pengawasan efektif penggunaan dana-dana bantuan, khususnya dana desa. Sementara media massa diharapkan lebih professional dan independen ketika menyampaikan informasi terkait perdagangan senjata dan amunisi. Perlindungan hukum dan keamanan terhadap para jurnalis juga sangat diperlukan.
Para pihak yang terlibat konflik bersenjata yakni TNI/POLRI dan TPNPB diminta menghentikan aksi kekerasan dan pemerintah Indonesia segera gelar dialog melibatkan seluruh yang terlibat dalam konflik di Papua, untuk menyelesaikan konflik secara damai dan bermartabat. [ns/ab]