Presiden Joko Widodo meminta jajarannya menghapus aturan dispensasi karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri (PPLN). Hal ini juga menyusul ditemukannya sejumlah kasus suap menyuap yang membuat sejumlah PPLN tidak menjalani karantina seusai mendarat di tanah air.
“Oleh sebab itu, saya minta utamanya yang berkaitan dengan omicron ini adalah karantina bagi yang datang dari luar negeri. Jangan ada lagi dispensasi-dispensasi, apalagi yang bayar-bayar itu kejadian lagi,” ungkap Jokowi dalam Rapat Terbatas Evaluasi PPKM, di Istana Negara, Jakarta, Senin (3/1).
Menurut Jokowi, hal ini penting mengingat kasus omicron di Indonesia terus bertambah, dan mayoritasnya berasal dari masyarakat yang baru saja datang dari luar negeri.
“Saya harapkan, sekali lagi, BIN, Polri, yang menyangkut urusan karantina agar diawasi betul-betul,” tuturnya.
Durasi Karantina PPLN
Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah kembali mengubah aturan durasi karantina untuk PPLN dari semula 10-14 hari, menjadi 7-10 hari. Lamanya karantina tersebut, nantinya tergantung kepada negara asal perjalanan PPLN.
“Tadi diputuskan, karantina yang 14 hari menjadi 10 hari, dan yang 10 hari menjadi tujuh hari,” ungkap Luhut.
Luhut tidak menjelaskan secara gamblang mengapa akhirnya peraturan tersebut diubah. Lebih jauh ia mengklaim meskipun sudah terdapat kasus omicron, situasi pandemi di Tanah Air masih cukup terkendali. Adapun jumlah kasus omicron di Indonesia saat ini sudah mencapai 152. Dari jumlah tersebut sebanyak 23 persen sudah sembuh.
BACA JUGA: Kemenkes Temukan Kasus Transmisi Lokal OmicronPemerintah, katanya, saat ini juga sudah cukup siap dalam menghadapi potensi ledakan kasus yang disebabkan oleh varian omicron mulai dari infrastruktur rumah sakit, tenaga kesehatan, obat-obatan, oksigen, hingga sistem karantina yang cukup ketat.
“Mohon sadar kita tidak bisa berikan diskresi kebanyakan lagi, karena kita hanya mengacu pada instruksi Mendagri yang ada saja, karena kalau tidak, tadi Presiden mengingatkan kita, nanti kita tidak disiplin,” tuturnya.
Perkembangan Omicron
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melaporkan, hingga saat ini tercatat jumlah kasus omicron global mencapai 408 ribu dari 184 ribu pada minggu lalu. Ia menjelaskan, saat ini setidaknya sudah ada 132 negara yang mendeteksi varian tersebut. Adapun pusat episentrum varian omicron berada di Inggris, Denmark dan Amerika Serikat yang mempunyai kasus varian omicron di atas 20 ribu kasus.
“Sementara Afrika Selatan sendiri sudah turun, 1.800 kasus-an. Negara di Asia Tenggara yang di atas kita adalah Singapura 1.600 dan Thailand 1.500. Indonesia ada di posisi 40 jumlahnya 152 kasus, ada tambahan 16 dibandingkan dua hari yang lalu, dan semuanya berasal dari PPLN,” ungkap Budi.
Lebih jauh, Budi menjelaskan, untuk kasus positif COVID-19 varian omicron sejauh ini tidak menimbulkan kenaikan yang signifikan terhadap pasien yang harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Menurutnya, hal ini disebabkan adanya perlindungan dari T-sel, meskipun efikasi vaksin COVID-19 menurun akibat paparan varian omicron.
“Kasus omicron di Indonesia, dari 152 kasus, itu lebih setengahnya adalah tanpa gejala, setengahnya lagi adalah sakit ringan, artinya tidak membutuhkan oksigen, saturasinya masih di atas 95 persen, dan 23 persen, atau 34 orang sudah sembuh. Kita melihat bahwa tidak ada yang membutuhkan perawatan yang serius di RS, cukup di kasih obat dan vitamin mereka sudah bisa kembali ke rumah,” jelasnya.
Vaksinasi Booster COVID-19
Dalam kesempatan ini, Budi juga menjelaskan bahwa program booster COVID-19 atau penguat akan mulai dilaksanakan pada 12 Januari 2021 mendatang kepada masyarakat yang berusia di atas 18 tahun.
Vaksinasi booster tersebut, katanya, akan dilakukan di kabupaten/kota yang telah memenuhi target vaksinasi dosis pertama 70 persen, dan vaksinasi dosis lengkap sebanyak 60 persen. Tercatat, ada 244 kabupaten/kota di Indonesia yang sudah memenuhi kriteria tersebut.
Pemberian vaksin booster tersebut, katanya akan diberikan kepada masyarakat yang sudah mendapatkan vaksinasi dosis kedua dengan jangka waktu di atas enam bulan.
“Kita identifikasi ada sekitar 21 juta sasaran di Januari yang masuk ke kategori ini. Jenis booster akan kita tentukan, ada yang homolog atau jenis yang sama, ada yang heterolog atau jenis vaksin yang berbeda. Akan diputuskan tanggal 10 Januari sesudah keluar rekomendasi dari ITAGI, dan BPOM,” katanya.
BACA JUGA: Omicron di Indonesia Terus Merebak, Kasus Terkonfirmasi Jadi 46Ketika ditanyakan, apakah program vaksinasi dosis ketiga ini berbayar atau gratis? Budi mengaku masih menggodoknya. Pasalnya, pihak CDC dan FDA dari Amerika Serikat telah mengatakan bahwa pemberian vaksin booster jenis Moderna dapat diberikan setengah dosis mengingat efek Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang cukup keras dari vaksin tersebut.
Budi mengatakan, setidaknya dibutuhkan 230 juta dosis booster, di mana pemerintah sendiri sudah mengamankan sebanyak 113 juta dosis.
“Sekarang ITAGi sedang melakukan research, mudah-mudahan bisa selesai di 10 Januari, kalau kemudian untuk vaksin Pfizer dan Moderna memang half dosis dan full dosis tidak ada beda dari sisi efektivitasnya, kita bisa menggunakan half dosis. Maka, kemungkinan besar seluruh kebutuhan vaksin booster bisa dipenuhi dari yang gratis,, tetapi ini masih dalam diskusi,” jelasnya.
Durasi PPLN Lebih Baik 14 Hari
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan masa karantina bagi PPLN idealnya adalah 14 hari. Ia menjelaskan memang masa inkubasi virus cukup bervariasi. Untuk virus SARS-COV-2 ini, ujar Dicky, para peneliti menemukan masa inkubasi yang khas rata-rata sekitar lima hari. Namun, sekitar 97 persen orang yang terinfeksi dan mengembangkan gejalanya memakan waktu 11-12 hari, dan sebanyak 99 persen dalam waktu 14 hari.
“Itulah sebabnya, karantina 14 hari dianggap sebagai batas aman untuk memastikan seseorang tidak mengalami infeksi yang dapat disebarkan ke orang lain,” ungkap Dicky kepada VOA lewat pesat singkat.
Lebih jauh, Dicky menjelaskan dua virus corona lainnya seperti SARS dan MERS memang memiliki masa inkubasi yang lebih pendek, dan kebanyakan pasien sudah memperlihatkan gejalan dalam kurun waktu 10 hari.
“Tapi virus-virus tersebut memiliki proporsi orang yang mengalami gejala yang lebih parah, yang membuatnya lebih mudah untuk menentukan akhir dari jendela keamanan atau masa karantina," katanya.
"Namun saya pribadi lebih cenderung memilih masa 14 hari karantina untuk ancaman berganda delta dan omicron saat ini, meski dengan vaksinasi lengkap (2 dosis). Sampai nanti situasi dianggap lebih terkendali dan aman untuk mengurangi masa karantina menjadi 7 hari atau dengan pilihan karantina rumah,” pungkas Dicky. [gi/ab]