Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan perbuatan terdakwa telah “mengakibatkan luka berat” dan “meresahkan masyarakat”. Dua hal itu memberatkan tuntutan.
“Untuk menjatuhkan pidana 6 tahun dan denda sebesar 50 juta rupiah, subsider 3 bulan kepada terdakwa," kata JPU membacakan tuntutannya dalam sidang di Gedung Kearsipan dan Perpustakaan, Kota Bandung, Kamis (13/6/2019) siang.
Dalam tuntutannya, jaksa mempertimbangkan hal yang meringankan. Terdakwa dinilai kooperatif selama persidangan, mengakui dan menyesali perbuatan, serta telah membuat kesepakatan damai dengan salah satu korban, CAJ.
BACA JUGA: Dua Remaja Korban Bahar Smith Segera Didatangkan ke SidangBahar dijerat pasal berlapis yakni pasal penyekapan (Pasal 333 ayat 1) dan/atau pasal kekerasan (Pasal 170 ayat 2) dan/atau pasal penganiayaan (Pasal 351 ayat 1) juncto Pasal 55 KUHP. Pria 33 tahun itu juga dituntut dengan pasal kekerasan terhadap anak (Pasal 80 ayat 2) jo Pasal 76 C UU Perlindungan Anak.
Menanggapi tuntutan itu, Bahar Smith tidak berkomentar banyak. Dia hanya mengulang-ngulang pernyataan bahwa dia bertanggung jawab.
“Saya bertanggung jawab dengan yang saya lakukan. Dunia akhirat saya bertanggung jawab. Saya bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan,” ujarnya saat meninggalkan ruang sidang dengan pengawalan petugas.
Bahar Smith dilaporkan ke polisi awal Desember lalu karena diduga secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap anak di bawah umur, di depan publik. Kedua korban, CAJ dan MKU, diduga dianiaya di sebuah pesantren di Kampung Kemang, Bogor, pada 1 Desember 2018.
Korban dipukuli secara bergantian beramai-ramai, diduga atas perintah Bahar Smith. Alasannya karena salah seorang anak mengaku sebagai Bahar dalam sebuah acara di Bali, dan lainnya sebagai rekan Bahar. Keduanya mengalami luka berat dan dirawat di RS.
KPAI: Kekerasan Pada Anak Awal Tahun 2019 Tinggi
Proses hukum kasus Bahar Smith terjadi di tengah tingginya kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga ini mencatat, selama Januari - April 2019, terdapat 37 kasus kekerasan. Kasus-kasus ini didominasi perundungan (bullying) berupa kekerasan psikis, fisik, dan seksual. Ada pula anak yang jadi korban kebijakan diskriminatif sekolah.
“Anak korban kebijakan ada 8 kasus; anak korban pengeroyokan ada 3 kasus; anak korban kekerasan seksual sebanyak 3 kasus; anak korban kekerasan fisik sebanyak 8 kasus; anak korban kekerasan psikis dan bullying ada 12 kasus; anak pelaku bullying terhadap guru sebanyak 4 kasus,” ungkap Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, lewat rilis tertulisnya awal Mei lalu.
BACA JUGA: Komnas Perempuan: Banyak Predator Seksual Perempuan dan Anak-anak BerkeliaranDilihat dari jenjang pendidikannya, kebanyakan kasus ini terjadi di level sekolah Dasar (SD) dengan 25 kasus. Sementara di level SMP ada 5 kasus, SMA 6 kasus, dan perguruan tinggi 1 kasus.
Laporan KPAI ini merupakan hasil pengawasan lembaga yang dihimpun dari pengaduan langsung dan online, pengaduan lewat media sosial, dan pemberitaan di media massa. (rt/em)
Your browser doesn’t support HTML5