Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan meminta pengadilan membatalkan dakwaan terhadap WA, yang divonis enam bulan karena menggugurkan kandungan hasil perkosaan abangnya sendiri. Kelompok yang terdiri dari 12 organisasi sipil ini menyatakan pemidanaan itu tidak bisa dikenakan kepada korban perkosaan.
Peneliti Institue for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengungkapkan pihaknya menemukan cacat dalam proses persidangan tingkat pertama, yakni lima cacat prosedur dan dua cacat substansi. Karenanya, dia meminta pengadilan di tingkat banding bisa memeriksa ulang bukti dan membebaskan WA.
“Di sini kita meminta majelis hakim di pengadilan tinggi untuk memeriksa secara aseksama dan menguji validitas alat buktinya sehingga bisa mengkoreksi putusan yang kemrain di pengadilan negeri. Dan juga menggali nilai-nilai traumatis sehingga bisa menghasilkan alasan menghapus pidana dan menghapuskan pemidanaan bagi anak korban pemerkosaan itu,” ujar Maidina.
Dari hasil eksaminasi, ICJR menemukan cacat prosedural bahwa WA baru didampingi penasihat hukum pada hari pertama sidang 9 Juli 2018. Majelis hakim juga tidak melihat WA sebagai anak korban perkosaan. Sementara secara substansi, persidangan tidak membuktikan apakah bayi yang ditemukan betul merupakan bayi yang diaborsi WA.
UU Kesehatan membolehkan aborsi kandungan hasil perkosaan jika usia kandungan di bawah 40 hari. Sementara usia kandungan WA ketika melakukan aborsi sudah mencapai delapan bulan.
Sejak vonis dijatukan, kritik terus datang dari publik. Sebuah petisi dichange.org yang telah ditandatangani sembilan ribu orang, menuntut pembebasan WA. Sementara itu, Minggu (5/8/2018), belasan orang menggelar aksi di car free day Jakarta.
“Dia adalah korban perkosaan. bukan hanya korban perkosaan tetapi korban perkosaan tapi juga korban incest yang dilakukan oleh kakaknya sendiri. Dan pengguguran kandungan oleh ibunya, dan dia dipenjara. Kita ingin masyarakat untuk tahu dan untuk sadar,” tukas Riska Carolina.
Akhir Juli lalu, kelompok sipil itu juga melaporkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim PN Muara Bulian ke Komisi Yudisial. Hakim diduga mengabaikan UU Sistem Peradilan Anak dan melanggar Peraturan MA tentang Pedoman mengadili Perkara Perempuan.
Anggota KY Farid Wajdi mengatakan akan menelusurinya. Ia mengatakan, “Prinsipnya kita tidak ingin terlebih dahulu melakukan penilaian ada atau tidaknya pelanggaran kode etik, tapi yang pasti lebih jauh kita akan menelusuri mengapa hal itu kemudian terjadi.”
Your browser doesn’t support HTML5
Pengadilan Negeri Muara Bulian Kamis lalu (1/8) menyatakan menunda hukuman penjara bagi WA atas "dasar kemanusiaan". Namun, bagi Livia Iskandar, psikolog Yayasan Pulih, upaya pemulihan WA juga sama pentingnya karena gadis yang baru berusia 15 tahun itu dinilai mengalami trauma akibat diperkosa kakaknya sendiri dan kemudian terpaksa melakukan aborsi untuk menutupi aib keluarga mereka.
“SKPD dinsos untuk memikiran anak ini akan diasuh siapa. Kemudian bagaimana bisa meneruskan akses ke pendidikan. Usia 15 tahun masih kelas 3 SMP, masih belum ada ijasah. Ijasah terakhir masih SD,” kata Livia.
Livia juga meminta pemerintah daerah menjamin rehabilitasi trauma dan perawatan pasca-aborsi. [rt/em]