Meski merupakan kota terbesar di kepulauan Natuna yang terpencil dan penduduknya jarang, Ranai bisa disebut kota tidur.
Hanya ada beberapa mobil dan dua lampu lalu lintas di jalanan. Gunung berselimut awan menjulang menyerupai gunung berapi tidur. Pantai-pantai yang ada di dekatnya indah tak terjamah dan sepi, menanti para turis.
Dari Ranai, agak sulit melihat Natuna, dengan 157 pulau yang sebagian besar tak berpenghuni di lepas pantai barat laut Kalimantan, sebagai pemicu sengketa yang meningkat di masa yang akan datang mengenai kepemilikan Laut China Selatan, salah satu perairan tersibuk di dunia.
Namun hal itu ditakuti oleh banyak orang di sini.
Mereka sadar bahwa Natuna merupakan harta karun. Airnya yang kaya sering dijarah oleh para nelayan asing berkapal pukat. Di bawah zona ekonomi ekslusifnya adalah lapangan gas Natuna Timur, salah satu cadangan gas tak terjamah terbesar di dunia.
Dan setiap sengketa atas Natuna juga akan mengganggu keseimbangan strategis, meremehkan peran Indonesia sebagai penengah dalam sengketa-sengketa antara para negara tetangga di Asia Tenggara dan raksasa regional China.
Kementerian Luar Negeri mengatakan tidak ada masalah dengan China mengenai status Natuna, namun pihak militer dalam beberapa bulan terakhir mengeluarkan pernyataan yang lebih tegas.
Pada April, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menuduh China memasukkan wilayah-wilayah Natuna dalam apa yang disebut "Sembilan Garis Putus-putus", batas samar yang digunakan dalam peta-peta China untuk mengklaim sekitar 90 persen dari Laut China Selatan.
Sistem Peringatan Dini
Dengan meningkatnya ketegangan maritim antara China dengan Filipina dan Vietnam, Moeldoko kemudian bersumpah akan mengirimkan pasukan ke Natuna "untuk mengantisipasi ketidakstabilan di Laut China Selatan dan berlaku sebagai sistem peringatan dini bagi Indonesia."
Angkatan udara berencana meningkatkan mutu pangkalan udara Ranai untuk mengakomodasi jet-jet tempur dan menyerang helikopter.
Secara resmi, China dan Indonesia tidak berseteru atas kedaulatan kepulauan tersebut; keduanya sepakat wilayah itu termasuk dalam provinsi Riau. Indonesia juga tidak termasuk dalam lima negara -- Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan dan Brunei -- yang menantang klaim-klaim ekspansif Beijing di Laut China Selatan.
Hal ini memungkinkan Jakarta untuk memainkan peran netral dan menjadi mediator dalam sengketa yang semakin memanas dan rentan tersebut.
Namun peran kecil Natuna dalam drama wilayah ini mencerminkan "kekhawatiran yang semakin meningkat mengenai tindakan China dalam Nine-Dash Line," ujar Ian Storey, ahli keamanan di Lembaga Studi Asia Tenggara (ISEAS) di Singapura.
Peningkatan ketegangan maritim dengan China telah mendorong banyak negara-negara Asia Tenggara untuk mempererat hubungan strategis dengan Amerika Serikat.
Sejak 2010, Indonesia belum berhasil mendapatkan klarifikasi melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai dasar hukum bagi Nine-Dash Line. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada April mengatakan bahwa Indonesia telah "menyimpulkan" dari China bahwa garis itu tidak melintasi wilayah Indonesia.
Namun warga lokal tidak merasa yakin. "Kami khawatir mereka (China) akan mengambil alih wilayah ini," ujar Bupati Natuna Ilyas Sabil. "Itulah sebabnya telah menjadi prioritas utama kami untuk melindungi wilayah ini."
Minyak dan Gas
Sekitar 80.000 orang tinggal di 27 dari pulau-pulau di Natuna, sebagian besar di Ranai dan tempat-tempat lain di pulau utama Natuna Besar.
Pangkalan udara Ranai dibangun pada 1949 dan kota itu tumbuh di sekitarnya. Saat ini, sebuah terminal penumpang sipil baru sedang dibangun dengan harapan menarik lebih banyak penanam modal dan turis.
Tidak ada bukti dari peningkatan kehadiran militer. Dua kapal angkatan laut mengapung di dermaga.
Rencana untuk memperbaiki pangkalan udara bukanlah hal baru, namun bagian dari strategi jangka panjang untuk memperbaiki fasilitas angkatan udara, ujar komandan Lanud Ranai Letkol Andri Gandy.
Rencana-rencana tersebut termasuk memperpanjang landasan pesawat Ranai untuk mengakomodasi pesawat yang lebih besar. Pembangunan akan dimulai pada 2015 atau 2016, tergantung dari pendanaan, ujar Andri.
Pembangunan fasilitas militer akan terhambat masalah dana dan ketakutan akan memusuhi China, menurut Yohanes Sulaiman, analis keamanan dari Universitas Pertahanan Nasional.
"Militer sangat ingin membela kepulauan tersebut, tapi dengan apa? Bagaimana mereka dapat melawan China?" ujarnya.
Negara tetangga Malaysia memiliki rencana yang lebih meyakinkan untuk meningkatkan kehadiran militer di Laut China Selatan.
Pada Oktober, Malaysia mengumumkan rencana-rencana untuk membangun pangkalan angkatan laut di Bintulu di Sarawak, kota besar terdekat dengan James Shoal, atol yang berjarak 80 kilometer dari lepas pantai Sarawak yang diklaim Malaysia, China dan Taiwan. Kapal perang China melakukan latihan militer di dekatnya pada 2013 dan 2014.
Pangkalan tersebut akan menampung Korps Marinir baru, yang mengikuti model dan kemungkinan akan dilatih oleh Amerika Serikat. Tanpa menyebut China, menteri pertahanan Malaysia mengatakan tujuannya adalah untuk melindungi cadangan minyak dan gas Malaysia.
China tidak pernah memprotes pencarian minyak dan gas Indonesia di perairan Natuna, ujar Storey. Pertamina sekarang ini sedang membangun gas Natuna Timur bersama Exxon Mobil Corp, Total SA dan PTT Exploration and Production.
Perang Nelayan
Sama halnya dengan Vietnam dan Filipina, armada kapal nelayan Indonesia-lah yang paling merasakan peningkatan kehadiran maritim China.
Stok ikan Natuna turun drastis dengan tibanya kapal pukat besar dari China, Vietnam, Thailand dan Taiwan, ujar Rusli Suhardi, 40, pemimpin koperasi nelayan lokal.
"Sebelum 2010, kita dapat menangkap 100 kilogram ikan per hari. Sekarang perlu tiga hari untuk menangkap sejumlah itu," ujarnya.
Pantai di dekat tempatnya dikotori bangkai puluhan kapal, sebagian besar kapal pukat Vietnam yang dirampas oleh pihak berwajib Indonesia karena mencari ikan secara ilegal. Tidak adanya kapal China di makam laut ini merupakan bukti meningkatnya kekuatan maritim China.
Pada Maret 2013, kapal-kapal China yang bersenjata menkonfrontasi kapal patroli kementerian laut dan perikanan dan menuntut pembebasan nelayan-nelayan China yang baru ditangkap di perairan Natuna. Khawatir akan keselamatannya, kapten kapal Indonesia tersebut mematuhinya.
Demikian juga pada 2010, sebuah kapal maritim China mendesak kapal patroli Indonesia untuk melepaskan kapal China ilegal lainnya.
Storey, dari ISEAS, mengatakan Indonesia telah meremehkan insiden-insiden tersebut karena tidak ingin hal tersebut membayangi hubungan dengan China.
Hubungan-hubungan tersebut adalah bersejarah. Sebelum ada pangkalan udara di Ranai, tempat tersebut adalah desa Penagi yang dihuni masyarakat keturunan China. Salah satu warga tertuanya adalah Lim Po Eng, 78, seorang pensiunan pekerja, yang mengatakan Penagi dibangun oleh kakeknya dan warga lain yang melarikan diri dari kerusuhan dan kemiskinan di China.
"Kami bermukim di sini dan mulai membangun tempat ini," ujarnya. Pulau itu sudah dihuni oleh suku asli, ujar Lim, namun "mereka tinggal di hutan."
Setiap pagi, sebuah bendera Indonesia dikibarkan di atas dermaga Penagi. Banyak warga lokal yang mengatakan pemerintah Indonesia tidak begitu peduli dengan nasib Natuna, yang lokasinya lebih dekat ke Kuala Lumpur daripada Jakarta.
Namun ketidakpedulian ini sebagian merupakan keinginan untuk menetapkan status quo, ujar Yohannes.
"Pemerintah tahu tidak ada pilihan yang baik," ujarnya. "Mereka tidak dapat memerangi China, tapi jika mereka tidak mendorong klaim-klaimnya, Indonesia akan menjadi bahan tertawaan. (Reuters)