Seorang mantan pejabat Taliban mengatakan telah mengubah keberpihakannya dan berkomitmen melindungi perempuan.
KABUL —
Enambelas tahun yang lalu, Abdul Rahman Hotak membantu mendirikan salah satu rezim yang paling kejam terhadap perempuan di dunia, sebagai editor surat kabar dan birokrat untuk Taliban. Sekarang, sebagai salah satu pelindung hak asasi manusia paling terkemuka di Afghanistan, ia mengatakan telah mengubah keberpihakannya.
Duduk di halaman rumput kecil di luar kantor barunya di Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afghanistan, Hotak berikeras menjadi suara pelindung hak-hak perempuan di negara yang sangat konservatif itu, yang masih berada di antara tempat-tempat paling berbahaya di dunia untuk dilahirkan sebagai perempuan.
"Sayangnya, banyak orang yang masih menentang perempuan di negara ini, banyak diantaranya kawan kerja saya di masa lalu," ujar Hotak yang berjanggut tebal dan memakai sorban bergaris berwarna gelap.
"Sebagai komisioner, saya akan terus bekerja dengan aktivis-aktivis hak perempuan untuk mengurangi beban dan penderitaan perempuan Afghanistan."
Pengangkatan Hotak oleh Presiden Hamid Karzai di antara lima komisioner baru telah menimbulkan pertanyaan mengenai komitmennya untuk melindungi perempuan, seiring dengan perginya sebagian besar pasukan tempur internasional dari negara tersebut dan pemerintah membuat negosiasi yang lemah dengan Taliban.
Masa lalu Hotak yang kontroversial, termasuk gosip-gosip yang mengatakan bahwa ia merupakan ajudan untuk pemimpin Taliban bermata satu, Mullah Mohammad Omar, telah memicu peringatan dari aktivis-aktivis hak-hak sipil termasuk Human Rights Watch di New York dan komisi-komisi hak PBB.
Bahkan sebelum Taliban muncul sebagai kekuatan besar pasca perang sipil pada 1994, Hotak merupakan pemimpin redaksi surat kabar "Afghan Sunrise" milik Taliban di provinsi Kandahar di bagian selatan, tempat gerakan Islamis dibentuk.
Hotak menyangkal telah bekerja di bawah Omar, dan mengatakan ia bergabung dengan gerakan radikal pada masa-masa awalnya untuk "mengabdi kepada negara" dan membantu memulihkannya dari puluhan tahun perang sipil berdarah yang telah menghancurkan sebagian besar Kabul.
Namun ia mengatakan ia tidak pernah setuju dengan sebagian besar ideologi penindasan selama kekuasaan Taliban antara 1996 dan 2001, yang melarang perempuan-perempuan dari hampir semua pekerjaan dan pendidikan, termasuk memberikan suara, menyebut hal itu tidak Islami dan memberlakukan hukuman keras bagi pelanggarannya.
"Setiap orang di Afghanistan memiliki hubungan dengan salah satu grup atau yang lainnya dan saya bukan pengecualian," ujar Hotak.
Bahkan Sima Samar, ketua komisi hak asasi manusia independen yang terus menerus menjadi kandidat Hadiah Nobel untuk Perdamaian, telah mempertanyakan penunjukan Hotak, memperingatkan bahwa hal itu dapat melanggar komitmen terhadap pendukung internasional sebagai syarat bantuan yang dibuat pertemuan donor di Tokyo tahun lalu.
Samar, yang dikenal sebagai penentang keras burqa untuk perempuan, mengatakan penunjukan itu berisiko merusak kredibilitas dari komisi beranggotakan sembilan orang yang ditunjuk Karzai namun bertindak secara independen.
Ketua hak asasi manusia PBB Navi Pillay juga memperingatkan bahwa penunjukan-penunjukan terbaru mengganggu independensi dan efektivitas politik komisi tersebut.
Banyak perempuan Afghanistan merasa mereka menanggung derita dari upaya untuk membawa pemberontak ke dalam politik untuk mengakhiri perang 12 tahun yang dipimpin NATO, dengan langkah mundur ke beberapa kondisi yang mereka hadapi sebelum penumbangan kekuasaan Taliban yang didukung Amerika Serikat pada 2001.
Selama 12 tahun sesudahnya, perempuan-perempuan telah mendapatkan kembali hak-hak dasarnya dan membuat langkah maju menuju perwakilan politik efektif dengan seperempat kursi di parlemen diberikan untuk perempuan. Pemerintah juga telah mencoba merekrut lebih banyak perempuan ke dalam kepolisian dan militer.
Hotak mau berjabat tangan dengan wartawan perempuan, sesuatu yang tidak biasa bagi para anggota atau mantan anggota Taliban di Afghanistan.
Namun ia juga menyuarakan rasa skeptis mengenai undang-undang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang disiapkan sejak 2005, yang memicu kemarahan di parlemen. Jika disahkan, undang-undang itu akan membuat pernikahan di bawah umur, pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk di dalam keluarga, merupakan pelanggaran hukum.
"Amandemen ketiga menyatakan tidak ada undang-undang yang dapat melanggar Islam, namun sekarang kita memiliki undang-undang yang melanggar Islam," ujar Hotak.
"Undang-undang yang dibuat harus diterima oleh Muslim dan masyarakat sipil, supaya orang-orang merasa nyaman dengan aturan," ujarnya.
Para pembuat undang-undang yang religius sebelumnya menolak sedikitnya delapan dari 22 pasal dalam undang-undang tersebut, termasuk membuat usia menikah yang legal minimal 16 tahun, adanya tempat penampungan untuk para korban kekerasan dalam rumah tangga dan jumlah istri dibatasi menjadi dua. (Reuters)
Duduk di halaman rumput kecil di luar kantor barunya di Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afghanistan, Hotak berikeras menjadi suara pelindung hak-hak perempuan di negara yang sangat konservatif itu, yang masih berada di antara tempat-tempat paling berbahaya di dunia untuk dilahirkan sebagai perempuan.
"Sayangnya, banyak orang yang masih menentang perempuan di negara ini, banyak diantaranya kawan kerja saya di masa lalu," ujar Hotak yang berjanggut tebal dan memakai sorban bergaris berwarna gelap.
"Sebagai komisioner, saya akan terus bekerja dengan aktivis-aktivis hak perempuan untuk mengurangi beban dan penderitaan perempuan Afghanistan."
Pengangkatan Hotak oleh Presiden Hamid Karzai di antara lima komisioner baru telah menimbulkan pertanyaan mengenai komitmennya untuk melindungi perempuan, seiring dengan perginya sebagian besar pasukan tempur internasional dari negara tersebut dan pemerintah membuat negosiasi yang lemah dengan Taliban.
Masa lalu Hotak yang kontroversial, termasuk gosip-gosip yang mengatakan bahwa ia merupakan ajudan untuk pemimpin Taliban bermata satu, Mullah Mohammad Omar, telah memicu peringatan dari aktivis-aktivis hak-hak sipil termasuk Human Rights Watch di New York dan komisi-komisi hak PBB.
Bahkan sebelum Taliban muncul sebagai kekuatan besar pasca perang sipil pada 1994, Hotak merupakan pemimpin redaksi surat kabar "Afghan Sunrise" milik Taliban di provinsi Kandahar di bagian selatan, tempat gerakan Islamis dibentuk.
Hotak menyangkal telah bekerja di bawah Omar, dan mengatakan ia bergabung dengan gerakan radikal pada masa-masa awalnya untuk "mengabdi kepada negara" dan membantu memulihkannya dari puluhan tahun perang sipil berdarah yang telah menghancurkan sebagian besar Kabul.
Namun ia mengatakan ia tidak pernah setuju dengan sebagian besar ideologi penindasan selama kekuasaan Taliban antara 1996 dan 2001, yang melarang perempuan-perempuan dari hampir semua pekerjaan dan pendidikan, termasuk memberikan suara, menyebut hal itu tidak Islami dan memberlakukan hukuman keras bagi pelanggarannya.
"Setiap orang di Afghanistan memiliki hubungan dengan salah satu grup atau yang lainnya dan saya bukan pengecualian," ujar Hotak.
Bahkan Sima Samar, ketua komisi hak asasi manusia independen yang terus menerus menjadi kandidat Hadiah Nobel untuk Perdamaian, telah mempertanyakan penunjukan Hotak, memperingatkan bahwa hal itu dapat melanggar komitmen terhadap pendukung internasional sebagai syarat bantuan yang dibuat pertemuan donor di Tokyo tahun lalu.
Samar, yang dikenal sebagai penentang keras burqa untuk perempuan, mengatakan penunjukan itu berisiko merusak kredibilitas dari komisi beranggotakan sembilan orang yang ditunjuk Karzai namun bertindak secara independen.
Ketua hak asasi manusia PBB Navi Pillay juga memperingatkan bahwa penunjukan-penunjukan terbaru mengganggu independensi dan efektivitas politik komisi tersebut.
Banyak perempuan Afghanistan merasa mereka menanggung derita dari upaya untuk membawa pemberontak ke dalam politik untuk mengakhiri perang 12 tahun yang dipimpin NATO, dengan langkah mundur ke beberapa kondisi yang mereka hadapi sebelum penumbangan kekuasaan Taliban yang didukung Amerika Serikat pada 2001.
Selama 12 tahun sesudahnya, perempuan-perempuan telah mendapatkan kembali hak-hak dasarnya dan membuat langkah maju menuju perwakilan politik efektif dengan seperempat kursi di parlemen diberikan untuk perempuan. Pemerintah juga telah mencoba merekrut lebih banyak perempuan ke dalam kepolisian dan militer.
Hotak mau berjabat tangan dengan wartawan perempuan, sesuatu yang tidak biasa bagi para anggota atau mantan anggota Taliban di Afghanistan.
Namun ia juga menyuarakan rasa skeptis mengenai undang-undang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang disiapkan sejak 2005, yang memicu kemarahan di parlemen. Jika disahkan, undang-undang itu akan membuat pernikahan di bawah umur, pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk di dalam keluarga, merupakan pelanggaran hukum.
"Amandemen ketiga menyatakan tidak ada undang-undang yang dapat melanggar Islam, namun sekarang kita memiliki undang-undang yang melanggar Islam," ujar Hotak.
"Undang-undang yang dibuat harus diterima oleh Muslim dan masyarakat sipil, supaya orang-orang merasa nyaman dengan aturan," ujarnya.
Para pembuat undang-undang yang religius sebelumnya menolak sedikitnya delapan dari 22 pasal dalam undang-undang tersebut, termasuk membuat usia menikah yang legal minimal 16 tahun, adanya tempat penampungan untuk para korban kekerasan dalam rumah tangga dan jumlah istri dibatasi menjadi dua. (Reuters)