Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Indonesia cukup terhantam keras dengan penyebaran virus Corona. Tidak hanya kesehatan manusia, virus ini juga mengganggu kesehatan ekonomi di seluruh dunia. Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), kata Ani, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam skenario terburuk bisa minus 0,4 persen.
“Pertumbuhan ekonomi kita berdasarkan assessment yang tadi kita lihat, BI, OJK, LPS, dan kami memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2,3 persen, bahkan dalam skenarionya yang lebih buruk, bisa mencapai negatif 0,4 persen,” ungkapnya dalam telekonferensi di Jakarta, Rabu (1/4).
Kenapa hal ini bisa terjadi? Ani menjelaskan, kondisi sekarang ini akan berimbas pada menurunnya konsumsi rumah tangga yang diperkirakan 3,2 persen hingga 1,2 persen. Lebih dari itu, investasi pun akan merosot tajam. Sebelumnya, pemerintah cukup optimistis bahwa investasi akan tumbuh enam persen. Namun, dengan adanya COVID-19, diprediksi investasi akan merosot ke level satu persen atau terburuk bisa mencapai minus empat persen.
Ekspor pun diperkirakan terkoreksi lebih dalam, mengingat sudah satu tahun belakangan ini pertumbuhannya negatif. Begitu juga dengan impor yang, menurut Ani, juga akan tetap negatif pertumbuhannya.
Sektor UMKM, adalah sektor yang paling pertama terdampak wabah COVID-19. Berkaca pada krisis tahun 1998, sektor ini cenderung aman. Namun, sekarang situasinya berbeda.
“Sektor UMKM adalah sektor yang juga terpukul. Padahal, selama ini biasanya menjadi safety net. Sekarang mengalami pukulan yang sangat besar, karena adanya restriksi kegiatan ekonomi dan sosial yang memengaruhi kemampuan UMKM, yang biasanya resilient, bisa menghadapi kondisi. Tahun 97-98, justru UMKM masih resilience. Sekarang ini dalam COVID ini, UMKM terpukul paling depan karena ketiadaan kegiatan di luar rumah oleh seluruh masyarakat,” jelasnya.
BACA JUGA: Hadapi Pandemi, Jokowi Teken Perppu Stabilitas EkonomiPemerintah, kata Ani sudah mengeluarkan berbagai kebijakan, dengan pemberian stimulus kepada masyarakat yang terdampak. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Dalam Perppu ini, salah satu stimulusnya adalah jaring pengaman sosial yang diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu.
“Oleh karena itu kita di Indonesia, harus memusatkan perhatian pada tiga hal. Pertama, kesehatan dan masalah kemanusiaan harus ditangani. Kedua, menjamin kondisi masyarakat terutama jaring pengaman sosial kepada masyarakat terbawah dan bagaimana kita melindungi sedapat mungkin sektor usaha ekonomi supaya mereka tidak mengalami damage atau bisa bertahan dalam situasi sulit. Dan dalam hal ini kita juga melindungi stabilitas sektor keuangan,” papar Sri Mulyani.
Rupiah Berpotensi Tembus Rp20.000 per Dolar AS
Dalam kesempatan tersebut, Ani juga mengumumkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi melemah hingga Rp20.000 per dolar AS akibat wabah COVID-19. Untuk perkiraan moderatnya berada di kisaran Rp17.500 per dolar AS.
Hal ini menjadi bagian dari salah satu skenario asumsi makro 2020 yang seluruhnya mengalami perubahan, seperti pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan 2,3 persen hingga minus 0,4 persen. Selain itu, inflasi 5,1 persen serta harga minyak mentah Indonesia yang anjlok menjadi USD 31 per barel.
BACA JUGA: Hadapi Corona, Pemerintah Bakal Terbitkan Surat Utang Bantu PengusahaMeskipun asumsi makro kali ini begitu menakutkan, Ani menegaskan, pemerintah tidak akan membuat hal itu terlaksana. Justru, hal ini dijadikan patokan jangan sampai skenario terburuk itu terjadi.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan, pihaknya tidak akan membiarkan skenario nilai tukar rupiah Rp20.000 per dolar AS terjadi. Bahkan, ia menyatakan, nilai tukar rupiah saat ini, yang berada pada kisaran Rp16.000 per dolar AS, sudah cukup stabil.
“Skenario terberat kurs Rp17.500 per dolar AS atau yang sangat berat Rp20.000 itu akan kita anitisipasi supaya tidak terjadi. Dalam hal ini saya sebagai Gubernur BI menyatakan bahwa tingkat rupiah saat ini sudah memadai. Yang tadi saya sampaikan skenario adalah sebagai forward looking yang kita akan cegah supaya tidak akan terjadi. Oleh karena itu BI akan terus berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ujar Perry.
Dijelaskannya, penyebab melemahnya rupiah karena investor panik sehingga terjadi apa yang disebut pembalikan modal atau capital outflow. Selama periode terjadinya pandemi ini antara Januari dan Maret 2020 telah terjadi capital outflow dalam portofolio investasi Indonesia, yang jumlahnya mencapai Rp167,9 triliun.
“Capital outflow ini yang kemudian terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia, yang juga menjadi penyebab pelemahan nilai tukar rupiah, didorong oleh kepanikan global akibatnya cepat menyebarnya wabah COVID-19 di berbagai dunia. Dalam konteks ini, kami menyediakan dolar, baik di spot dan juga di domestic non delivery forward maupun pembelian SBN di pasar sekunder. Sejauh ini kami sudah membeli SBN dari pasar sekunder sejumlah Rp166 triliun,” jelas Perry.
Your browser doesn’t support HTML5
Sejauh ini, BI telah melakukan beberapa langkah untuk mengantisipasi dampak COVID-19 ini, antara lain, dua kali menurunkan suku bunga acuan BI.
“Kami di BI berkoordinasi dengan pemerintah untuk melakukan aspek-aspek yang berkaitan dengan stabilitas moneter maupun stimulus moneter dimana kami telah menurunkan suku bunga dua kali sehingga suku bunga BI menjadi 4,5 persen untuk merilis beban dunia usaha. Yang kedua, kami terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah dengan mengintervensi di pasar spot, domestic non delivery forward, maupun pembelian SBN dari pasar sekunder,” ungkap Perry. [gi/ka]