Istilah Cebong dan Kampret begitu populer pada Pemilu 2010 karena hanya ada dua pasang calon presiden-calon wakil presiden. Terbelahnya pemilih ke hanya dua kubu itu dinilai berdampak besar, bahkan hingga saat ini.
Polarisasi pemilih dalam dua kubu ini memprihatinkan karena konflik yang timbul lebih runcing, dibanding ketika ada banyak calon dalam pemilihan presiden. Presidential threshold atau syarat ambang batas pencalonan presiden dianggap menjadi akar persoalan. Karena itulah, sejumlah partai politik, tokoh dan pengamat menilai presidential threshold harus diturunkan.
Tujuannya, partai yang lolos dalam Pemilu, dapat membentuk lebih banyak koalisi dan memunculkan lebih banyak pasangan capres-cawapres.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, mencatat setidaknya ada empat dampak yang harus diterima. Pertama, ujarnya, adalah minimnya pasangan calon.
“Hanya akan muncul dua pasang calon yang head to head, meskipun di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon. Tetapi tidak begitu dalam praktiknya. Buktinya, dalam pemilu yang lalu, bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon,” kata La Nyalla, dalam diskusi di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (5/6).
Dampak keterbelahan masyarakat dalam dua kubu, menurutnya, masih dirasakan sampai saat ini dan dinilai sangat tidak produktif.
Kedua, ambang batas pencalonan mengerdilkan potensi bangsa. Menurut La Nyalla, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan calon pemimpin yang kompeten. Namun, calon-calon kompeten itu tidak bisa muncul karena digembosi aturan main. Pembatasan itu juga mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan calon terbaik.
BACA JUGA: Partai Demokrat Terbelah Dua, Perseteruan Moeldoko dan AHY Dimulai?Ketiga, ambang batas pencalonan juga berpotensi mengendurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat.
“Peluang Golput tinggi, karena calon terbaik mereka tidak dapat tiket untuk maju, sehingga kedaulatan rakyat melemah, digerus kedaulatan partai,” kata La Nyalla.
Dampak keempat, menurut La Nyalla, adalah partai kecil cenderung tidak berdaya di hadapan partai besar, terkait keputusan calon yang akan diusung bersama. Padahal, menurut senator asal Jawa Timur ini, partai politik didirikan untuk mengusung kadernya, agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional.
Ambang batas pencalonan presiden juga melemahkan posisi presiden sendiri. Terbukti dengan kondisi saat ini, partai pendukung dominan di DPR. Mekanisme pengawasan menjadi lemah karena yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan, dan DPR menjadi menjadi pihak yang melegitimasi kebijakan pemerintah.
“Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu, bukan di hilir. Maka dari itu yang dibutuhkan Indonesia adalah Amandemen UU yang baru,” tambah La Nyalla.
Konsentrasikan Kekuasaan
Ambang batas pencalonan presiden adalah amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, kehadirannya harus dirunut dari proses amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 hingga 2002. Ambang batas ini terus naik. Pemilu 2004 mensyaratkan perolehan 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah. Kemudian pada Pemilu 2009, syaratnya naik menjadi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah, dan angka tersebut dipakai hingga saat ini.
Pakar Hukum Tata Negara Dr Zainal Arifin Mochtar meyakini penetapan ambang batas pencalonan presiden adalah upaya pemusatan kekuasaan.
“Saya termasuk yang menduga, bahwa presidential threshold ini berkaitan dengan upaya untuk mengonsentrasikan kakuasaan pada pihak-pihak tertentu. Dan saya menduga, ini sebenarnya bagian dari permainan oligarki. Tidak bisa ditolak,” kata Zainal.
Zainal menyebut oligarki sebagai kelompok pemilik modal yang memiiki tujuan utama mempertahankan akumulasi kekayaan. Kelompok ini tidak peduli siapa yang menjadi presiden sepanjang bisa bekerja sama dengan mereka untuk tujuan itu.
“Yang terjadi, jangan jangan kita dimainkan oleh sistem yang sangat oligark dan itu dipaksakan daan dipertahankan dengan cara seakan-akan menjadi baik, dan diamini oleh Mahkamah Konstitusi,” lanjutnya.
Sejumlah upaya hukum memang telah dilakukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengurangi atau menghapus ambang batas pencalonan presiden. Sejauh ini, upaya tersebut selalu gagal.
Your browser doesn’t support HTML5
Zainal mencatat, alasan pertama MK adalah karena aturan tersebut merupakan open legal policy, atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang. Zainal berpendapat, tidak semua yang tidak dibicarakan serta-merta dikatakan sebagai open legal policy. Alasannya, aturan ini berkaitan dengan jabatan presiden dan tidak dibicarakan langsung dalam pembentukan Undang-Undang Dasar.
“Kalau ambang batas berarti ukurannya adalah partai politik. Tidak bisa dikatakan sebagai open legal policy,” tegas Zainal.
Selain itu, MK menyatakan perlu adanya ambang batas karena mendorong penyederhanaan partai. Zainal mengaku tidak bisa memahami logika tersebut karena tidak berkaitan. Partai didirikan terkait kepentingan, bukan ambang batas pencalonan presiden. Sampai saat ini partai baru juga terus berdiri di Indonesia. Alasan ketiga MK, bahwa aturan ini untuk penguatan sistem presidensial juga dikritisi Zainal. Faktanya, koalisi partai di Indonesia tidak berdasar ideologi, tetapi tujuan politik yang pragmatis.
Tidak seperti La Nyalla yang mendengungkan usulan amandemen, menurut Zainal, perbaikan cukup dilakukan melalui revisi.
“Sebenarnya kerja lebih mudah dengan Revisi UU tentang pemilu. Diubah saja di pasal-pasalnya soal ambang batas itu. Jadi tidak perlu dengan amendemen,” kata Zainal.
Penetapan ambang batas pencalonan presiden ini juga dinilai merupakan strategi partai besar memaksa partai kecil tidak memunculkan calon. Padahal, menurut Dekan Fakultas Hukum UMY, Iwan Satriawan Ph D, bisa saja calon partai kecil yang berkualitas mengalahkan calon partai besar yang tidak kredibel.
“Kalau dengan model sekaran ada yang dikunci, kemungkinan hanya dengan dua calon. Ini adalah shadow democracy. Ada dimensi liberal tetapi ada bagian tertentu yang dikunci dalam proses demokrasi, yaitu dengan adanya Presidential Threshold,” kata Iwan.
Iwan mencatat ada banyak negara yang justru tidak menerapkan ambang batas. Dia menyebut beberara di antaranya seperti Peru, Brazil, Meksiko, Kirgistan, Uruguay, Perancis, Finlandia, Portugal hingga Polandia.
“Bahkan di beberapa negara dibolehkan calon independen,” tegas Iwan.
Bahkan Amerika Serikat (AS) juga tidak menerapkan ambang batas. Seperti diketahui, dalam Pilpres AS selalu muncul dua nama besar yang dominan dalam pemberitaan. Namun sebenarnya, ada sejumlah nama lain yang ikut dalam proses pemilihan meski tidak populer.
Menghapus ambang batas pencalonan, tambah Iwan, akan memaksa partai besar menghadirkan calon terbaik mereka, karena khawatir kalah dari calon partai kecil yang dinilai berkualitas.
Iwan menduga, ada barikade kuat di balik pintu Mahkamah Konstitusi. Dia dan tim sudah mengajukan revisi UU Pemilu ke MK, tetapi ditolak. MK sendiri telah sebelas kali menolak upaya hukum terkait ambang batas pencalonan presiden.
“Semoga barikade itu bisa dibuka oleh DPD. Tapi DPD tidak bisa sendiri, harus dengan bantuan dari gerakan mahasiswa, organisasi-organisasi masyarakat atau NGO yang ada,” lanjut Iwan. [ns/ft]